Minggu, 16 Mei 2010

SRI : TENTANG ROKOK


PUTHUT EA

Tulisan saya tentang ‘Mitos Tentang Bahaya Merokok’ adalah tulisan yang paling banyak mendapatkan tanggapan dari teman-teman saya lewat inboks fesbuk saya (bukan lewat tanggapan langsung di bawah tulisan tersebut atawa terbuka). Ada yang mengucapkan terimakasih, ada yang ingin menyebarluaskan tulisan tersebut dan banyak yang secara pribadi mempertanyakan lebih dalam pandangan saya tentang isu tersebut. Tulisan ini adalah untuk kawan-kawan saya yang melayangkan pertanyaan di tipe ketiga. Saya jawab di dalam satu tulisan, sebab tidak mungkin menjawab satu per satu dengan detil. Kepada mereka semua, saya ucapkan terimakasih.

Inti dari berbagai pertanyaan tersebut: Mengapa saya berani menyatakan bahwa bahaya merokok itu mitos? Bukankah itu benar adanya?

Begini, saya seorang perokok, dan itu saya nyatakan secara terbuka lewat situsweb saya www.puthutea.com, yang telah saya buat kurang-lebih 2 tahun lalu. Tetapi di sana, saya juga menyatakan bahwa saya sangat menghormati orang yang tidak merokok. Penghormatan itu konkret saya lakukan, jika berada di tempat umum, saya hanya merokok di area yang bertuliskan: area bebas merokok. Jika saya bertemu dengan orang-orang baru, pasti saya tanya apakah ia atau mereka merokok, dan jika tidak, apakah saya boleh merokok? Tetapi saya lebih sering jika berhadapan dengan orang-orang yang baru saya kenal (saya belum tahu apakah mereka keberatan atau tidak jika saya merokok), saya memilih merokok dengan cara menjauh dari mereka.

Tetapi saya juga memiliki keprihatinan mengenai larangan merokok. Berikut fakta-fakta yang mengganggu pikiran saya tentang hal tersebut.

Pertama, saya tahu persis bahwa merokok mengganggu kesehatan. Tetapi larangan tentang bahaya merokok sudah tidak sehat dan kritis lagi. Mengapa? Saya tahu bahwa ada berbagai hal yang bisa mengganggu kesehatan manusia: pola pikir, mental, gaya hidup, pola makan dll. Tetapi kenapa hanya di bungkus rokok saja yang diberi peringatan tentang bahaya merokok? Mengapa di bungkus makanan yang mengandung MSG dan lapisan lilin seperti pada mi instan tidak diberi peringatan seperti itu? mengapa di produk-produk seperti tempe dan tahu yang seakan-akan sehat padahal kedelainya merupakan kedelai transgenik tidak diberi peringatan serupa? Mengapa di produksi minyak goreng, bahkan yang ada adalah promosi tentang kesehatan jika menggunakan produk itu? padahal di salah satu produk rokok yang mempromosikan diri lewat cara seperti itu, sudah sejak lama dihilangkan: ingatkah Anda bahwa dulu ada produk rokok yang bertuliskan ‘baik untuk menghilangkan batuk’? Dan mengapa pula tidak ada peringatan soal bahaya mengkonsumsi ikan dari peraitan tertentu di Indonesia yang jelas-jelas lewat penelitian ditemukan kadar merkuri yang sangat membahayakan? Mengapa?

Kedua, kalau rokok dianggap sebagai polutan, mengapa tidak upaya yang serius untuk mengurangi jumlah mobil atau motor yang jelas-jelas memberi kontribusi bahan polutan sangat besar? Atau setidaknya, mengapa tidak ada peringatan serupa seperti yang ada di bungkus rokok, misalnya ditaruh di bagian belakang mobil atau di tempat-tempat pengisian bahan bakar? Mengapa beberapa kota di Indonesia melakukan gembar-gembor akan menjadi ‘kota bebas rokok’ tetapi tidak berani mengatakan ‘kota bebas mobil dan pabrik’?

Ketiga, ini yang saya sangat prihatin, seorang perokok dianggap lebih buruk dari seorang kriminal bahkan koruptor. Beberapa teman saya yang bekerja di Jakarta, ‘ditangkap’ oleh satpam gara-gara merokok di tangga-tangga darurat. Apakah teman-teman saya salah? Mungkin. Tetapi persoalannya, di gedung-gedung tempat mereka bekerja sudah tidak ada lagi disediakan area untuk merokok. Saya kenal betul kawan-kawan saya itu, istilah yang gampang Anda pahami ‘uang halal pun tidak mereka terima apalagi uang haram’, tetapi kenapa mereka diperlakukan seperti itu? Mereka diperlakukan seperti maling dan pengidap sampar.

Keempat, bahaya merokok sudah seperti rezim kesehatan yang sangat otoriter. Baru-baru ini, beberapa teman saya juga berkisah, mereka sakit. Ketika mereka datang ke dokter, sebelum diperiksa, sudah ditanya: apakah Anda merokok? Kenapa tidak ditanya: apakah Anda mengkonsumsi mi instan? Atau mengapa tidak langsung diberitahu: kita emmang tinggal di kota yang tidak sehat dengan kadar polutan dan tingkat stress yang sangat tinggi… Mengapa?

Kelima, sekarang ini mulai menjamur, ketika Anda melamar kerja di perusahaan atau lembaga tertentu, Anda akan ditanya: apakah Anda merokok? Kalau Anda jawab ya, maka bersiaplah untuk tidak diterima. Jadi, Anda harus memilih menjadi seorang pembohong atau berhenti merokok. Pangkal soalnya kemudian: apakah seorang perokok secara otomatis kalah kualitas dengan orang yang tidak merokok? Atau sebodoh itukah Anda sehingga akan mempertaruhkan reputasi Anda untuk merokok di tempat kerja dan akan mengganggu rekan-rekan Anda?

Keenam, kadang-kadang orang-orang yang melarang merokok itu sampai pada kadar yang sangat naif. Bukankah mereka bisa belajar atau setidaknya sudah tersedia begitu banyak buku tentang ekonomi-politik neoliberal? Dan salah satu produk yang diancam adalah industri kretek, sebagai industri nasional yang menjadi tumpuan hajat hidup orang banyak. Indonesia tidak mempunyai banyak produk ungulan dan industri nasional, yang dari hulu sampai hilir, prosentase produksinya sangat besar. Selain rokok kretek (bukan rokok putih) adalah pabrik jamu. Kalau Anda biarkan para agen neoliberal menghajar Anda dengan kampanye serampangan yang tampak logis itu, percayalah kepada saya: sebentar lagi pabrik jamu pun akan dihajar, dengan parameter-parameter kesehatan yang didatangkan dari luar. Jamu, kelak akan diangap tidak sehat, agar obat-batan mereka bisa menggantikan jamu. Kalau tidak berhasil, serangan akan diteruskan, lalu modal asing akan mengakuisisi modal dalam negeri. Lihatlah baik-baik contoh di persoalan rokok dari mulai tahun 1999 ketika mereka gagal melarang rokok kretek di Indonesia. Apa yang mereka lakukan? Akuisisi!

Ketujuh, soal haram. Saya sebetulnya tidak mau ambil suara di persoalan ini, agak kekanak-kanakan menurut saya. Tetapi begini saja gampangnya, apakah soal ‘haram’ itu persoalan yang dangkal dan gampang? Contoh, apakah minum air putih itu haram? Jawabannya, hakulyakin tentu tidak. Tetapi apakah jika Anda meminum airputih yang diproduksi oleh sebuah pabrik dan air itu diambil dari sumber air penduduk lalu para penduduk itu kemudian tidak bisa lagi mengakses sumber air yang sejak dulu ada, kemudian tetap halal? Coba pikir baik-baik… Saya tidak belajar banyak ilmu agama, tetapi saya tidak mau terjerumus dalam sikap bodoh untuk gampang mengharamkan sesuatu.

Kedelapan, saya mungkin juga sebagian dari Anda, sering sekali menggunakan standar ganda di dalam beretika, kalau itu menguntungkan kita, maka kita tidak akan mengungkit-ungkit persoalan itu. Beberapa tahun lalu, ada seseorang yang bertanya kepada saya: Mas, apakah membuat buku itu harus berguna bagi orang (baca: tanggungjawab sosial), apakah kegembiraan pribadi orang itu (baca: penulis) tidak boleh? Saya bingung menjawabnya, saya hanya bisa menjawab: Tahukah Anda kalau setiap kali seorang penulis menerbitkan buku ada sekian banyak pohon yang ditebang? Tentu, saya tidak berani mengtakan bahwa buku-buku saya berguna, tetapi saya percaya harus ada landasan etis mengapa seseorang bekerja dan berkarya.

Kesembilan, ada ambiguitas yang akut di dalam gerakan masyarakat madani di Indonesia. Sederhananya begini, kalau Anda mendapatkan uang dari lembaga donor asing, itu dianggap ‘bersih’. Sedangkan kalau Anda mendapatkan dana dari pemerintah atau dari industri dalam negeri, dianggap ‘kotor’. Silakan pikir baik-baik ‘kegilaaan’ cara pandang seperti itu…

Kesepuluh, prinsip utama dalam gerakan sosial apapun itu adalah memanusiakan manusia. Di tahap inilah kita butuh kemerdekaan berpikir dan bertindak, sekaligus keberanian untuk melakukan sikap toleran terhadap pihak yang berbeda. Kalau ‘memanusiakan manusia’ ibarat buah, maka sikap kritis merupakan akarnya. Membangun siap kritis adalah agenda penting di dalam gerakan sosial, dari mulai mengkritisi diri sendiri maupun kampanye-kampanye yang berseliweran di sekitar kita, berikut agenda-agenda di belakang itu semua.

Kesebelas, berkaitan dengan sikap kritis dan soal rokok, perhatikan baik-baik: 1) dari mana parameter-parameter kesehatan yang diberikan? Mengapa kita tidak bisa dan tidak boleh mendefinisikan kesehatan menurut parameter-parameter kita sendiri? 2) dana dari mana untuk kampanye anti-rokok? Benarkah hanya melulu persoalan kesehatan? 3) sejauh mana Anda gampang digiring dan diombang-ambingkan berbagai isu tanpa bisa bersikap kritis? Coba lakukan ini, carilah di mesin pencari tentang ‘bahaya minum kopi/kafein, Anda akan mendapatkan banyak sekali artikel soal itu. Lalu cobalah untuk mencari tema ‘keuntungan minum kopi/kafein’, Anda akan banyak mendapati artikel yang menguatkan itu. Coba lakukan hal yang sama pada teh….

Saya sebetulnya ingin membuat sampai 20 poin, tetapi karena saya suka sepakbola, poin-poin penjelasan saya cukup sampai sebelas saja. Untuk menutup tulisan ini, saya paparkan jawaban mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah, saat ditanya wartawan soal fatwa haram merokok. Ia menjawab, pertama, kalau mau membuat keputusan tidak perlu karena adanya tekanan dari pihak luar negeri. Kedua, setiap keputusan harus mempertimbangkan hajat hidup rakyat banyak. Ketiga, harus diingat, bahwa kretek merupakan pusaka Nusantara.

Merokok memang mengganggu kesehatan Anda, tetapi otak yang gampang disetir akan mengganggu kesehatan Anda dan Bangsa Indonesia. Sadarlah!

[cATATAN SAHABAT PUTHUT EA-PEROKOK AKTIF OKE/PASIF YESS]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar