Minggu, 16 Mei 2010

SRI : MARI BICARA


Sri Mulyani Indrawati (SMI) sudah dipastikan akan pergi. Namun, kepergiannya masih menyisakan sejumlah pertanyaan atau bahkan kontroversi. Mengapa SMI memutuskan untuk pergi pada saat proses hukum kasus Bank Century sedang berjalan di KPK? Apalagi diberitakan di berbagai media bahwa tawaran dari Bank Dunia sudah muncul lama. Sehingga, langkah ini memunculkan pertanyaan soal modus dan momentum? Mengapa keputusan untuk menerima dilakukan saat ini? Apa modus menerima tawaran itu? Apakah keputusan untuk pergi merupakan inisiatifnya dan strategi SMI untuk keluar dari tekanan politik? Ataukah ini merupakan hasil “pakta kompromi politik” antar elite partai pendukung koalisi untuk “ menyelamatkan muka” masing-masing. Dan dimana peran lembaga korporasi global, terutama Bank Dunia dalam “exit strategy” ini ?
Apapun modusnya, kepergian SMI jelas akan memunculkan kembali arena politik baru, yakni: perombakan kabinet. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah Presiden SBY akan menggunakan momentum pengunduran diri SMI untuk melakukan perombakan kabinet? Seberapa besar perombakan kabinet akan dilakukan? Dan apakah “ keretakan” atau bahkan ketegangan hubungan antar anggota koalisi pendukung selama kasus Bank Century akan menjadi basis untuk melakukan penataan politik di kabinet?
Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, Presiden hanya membatasi diri dengan melakukan pengisian posisi Menteri Keuangan yang ditinggalkan SMI. Langkah ini paling kecil resikonya karena tidak “ mengutak-atik” posisi Menteri yang lain. Walaupun demikian, langkah ini juga tidak mudah. Karena Presiden harus mempertimbangkan derajat penerimaan politik dari partai-partai pendukung di satu sisi. Dan penerimaan pasar, terutama korporasi di sisi lain. Jelas, Presiden akan menghindari pilihan yang paling besar resikonya yakni mengambil orang partai politik untuk mengisi posisi Menetri Keuangan. Karena kalau langkah ini diambil Presiden SBY tentusaja akan membuka ruang kotestasi baru antar partai pendukung. Pilihan rasionalnya adalah mengambil dari orang profesional. Namun, pilihan terhadap orang profesional juga bukan bebas kepentingan politik-ideologis. Setidaknya orang profesional yang dipilih “satu guru-satu ilmu” dengan ideologi kebijakan ekonomi yang dijalankan selama ini, cukup akomodatif terhadap aspirasi kepentingan kekuatan politik penyokong utama, terutama partai Golkar maupun kepentingan lembaga-lembaga korporasi nasional dan global (market friendly).
Kemungkinan kedua, Presiden melakukan perombakan kabinet terbatas, dengan menggunakan momentum pegisian posisi Menetri Keuangan untuk mereposisi posisi Menteri . Kalau langkah ini dipilih maka reposisi ini jelas menimbulkan implikasi politik. Pengisian posisi dan perpindahan pos menteri tentu akan menggeser komposisi –proporsi Menteri secara keseluruhan. Ditariknya satu mentri ke menetri keuangan berarti pos ditinggalkannya tetap membutuhkan pengganti. Dan pertanyaan berikutnya apa yang menjadi dasar bagi Presiden dalam pengisian posisi pengganti: apakah akomodasi politik ataukah profesionalisme?
Kalau jawabannya adalah akomodasi politik maka jelas perombakan kabinet akan berhubungan dengan proses rekonsolidasi koalisi pendukung. Rekonsolidasi itu bisa berarti politik eksklusi atau inklusi. Politik eksklusi berarti mengeluarkan atau mengurangi “ jatah keterwakilan politik” suatu partai dari kabinet pemerintahan. Sedangkan politik inklusi berupa akomodasi atau bahkan penambahan jatah keterwakilan partai dalam kabinet.
Sudah lama, wacana politik ekslusi ini menjadi semacam ancaman yang digunakan oleh elite Partai Demokrat terhadap partai-partai pendukung koalisi yang mempunyai sikap berbeda dalam proses politik di DPR dalam pengambilan keputusan kasus Bank Century. Pada saat yang bersamaan, elite Partai Demokrat, juga memakai wacana politik inklusi pada sejumlah partai yang beroposisi seperti PDI Perjuangan dan Gerindra, agar partai-partai tersebut bersedia bergabung dengan koalisi pendukung pemerintahan.
Dengan memakai logika politik ini maka posisi “ melunak “ yang diambil oleh beberapa partai dalam menanggapi kepergian SMI ke Bank Dunia atau bahkan minta lebih jauh untuk mem-peti es-kan kasus Century, bisa jadi sebuah manuver politik yang harus dijalankan untuk memperbesar peluang politik inklusi dan memperkecil politik eksklusi.
Akhirnya, kepergian SMI membuka ruang bagi Presiden SBY untuk melakukan dua hal: pertama, strategi penyelamatan pemerintahannya dari tekanan-tekanan politik terutama dari partai-partai pendukung koalisi. Kedua, menyediakan ruang untuk melakukan langkah rekonsolidasi politik internal koalisi dengan menggunakan senjata reposisi kabinet. Dengan demikian, kepergian SMI didesain bisa “menyelamatkan muka” banyak kekuatan politik. Tapi, apakah semudah itu? Karena bagaimanapun bau “terasi” masih tetap ada, walaupun Sri sudah pergi.

Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM

Dimuat di Harian kedaulatan Rakyat, Minggu, 9 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar