Minggu, 16 Mei 2010

SRI : KUCING DEDY MIZWAR


(Tadinya) Sebuah Resensi



1/
Setelah hampir setahun tidak berkunjung ke bioskop, saya akhirnya nonton lagi. Di tengah obrolan di warung kopi, sembari guyon soal keberhasilan saya menjadi penulis pesanan, tiba-tiba saja terpikir untuk membuat sedikit perayaan. Lebih-lebih ketika seorang teman mengatakan kalau ia tak tahu, hingga hari itu, bagaimana cara antri tiket bioskop. “Ya, sudah. Ayo nonton. Sekarang.” Setelah gagal berangkat malam itu juga—dikarenakan tak tahu persis jam putar film—saya dan teman yang belum pernah masuk Studio 21 itu akhirnya nonton besoknya. Yang kami tuju adalah film Dedy Mizwar terbaru, “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”.

Dari judulnya, saya tak berharap film ini akan lucu. Itu sebuah repertoar—kalau bukan malah gerutuan. Apalagi pada siang sebelum nonton film saya nonton di acara gosip Dedy Mizwar bersungut-sungut karena premier filmnya diputar di studio yang sonnya busuk. Namun komentarnya lebih pedas justru saat ia mendengar filmnya dikomentari dengan cara yang aneh oleh Menteri Sosial. Dari caranya yang sinis menanggapi tanggapan Mensos, saya tahu nanti malam saya tidak akan menonton film lucu. Ini adalah filmnya Dedy Mizwar yang marah. Lebih marah dari Dedy Mizwar yang membuat “Naga Bonar Jadi 2”. Dan (pasti!) lebih marah dari Dedy Mizwar yang pada Pemilu kemarin nekad mau mencalonkan diri menjadi wakil presiden bersama Jendral Saurip Kadi. Tapi demi memiliki alasan untuk pergi ke bioskop menonton film Indonesia, kami tetap berangkat. Sebab, jika bukan film Dedy Mizwar, bukankah lebih baik menunggu ada 3GP berisi adegan vulgar Dewi Persik atau Andi Soraya beredar?

Tapi, tanpa saya sangka, kelucuan sudah saya temukan sebelum masuk gedung bioskop. Di tiket, judul film itu terbaca sebagai “Alangkah Lucunya Dunia Ini” (tanpa kurung). Ya, benar-benar lucu dunia ini! Karena itu, dengan tidak berharap terlalu banyak akan bisa tertawa saat menonton, hal lucu sebelum masuk studio dan beberapa gelak tawa yang ditimbulkan oleh beberapa dialog dan celetukan dalam film telah mencukupi buat saya—jika yang dicari adalah “lelucon”. “Seperti habis nonton film Warkop minus bikini dan pantai; lucu tapi tak tahu mau cerita apa,” demikian simpul saya begitu bubaran. “Bukannya memang begitulah film-film Dedy Mizwar?” timpal teman saya. Namun, kami berdua sepakat, pesan yang paling jelas dari film ini adalah “daripada beternak cacing, mending beternak kucing, karena kucing adalah hewan kesayangan Nabi.” Yang sudah menonton film ini pasti setuju dengan kesimpulan ini.


2/
Saya menyukai Dedy Mizwar, sampai kapan pun, dan apa pun kata orang. ‘Kejar Daku Kau Kutangkap” saya tonton sesering saya mengaji, sementara kebanyakan koleksi VCD Indonesia lawas saya adalah film yang ada Dedy-nya. Kemunculan film-film Dedy saya tunggu seperti para fanboy konyol menunggu Lucas bikin kelanjutan “Star Wars”. Saat dibikin muak dan putus asa oleh acara televisi, sinetron-sinetron religius bikinan Demi Gisela Citra Sinema (DCGS) adalah tempat pelepas dahaga saya. Saya memang hanya lamat-lamat mengingat “Hikayat Pengembara” (sinetron religius pertama garapan Dedy), tapi saya mengikuti tuntas “Lorong Waktu” (1-6, dan putar ulangnya), “Kiamat Sudah Dekat” (serial), “Demi Masa”, dan “Para Pencari Tuhan” (1-3).

Seperti yang pernah dituturkan Dedy sendiri, ia mulai mendalami agama (Islam) setelah penggarapan Sunan Kalijaga (1985). Setelah lama tak muncul bersama runtuhnya industri perfilman Indonesia, hasil ketekunananya terhadap agama segera terlihat begitu ia muncul di jagad sinetron—sebagai aktor, kadang sutradara, tapi yang paling utama sebagai produser (dengan DCGS sebagai kendaraannya). Sinetron-sinetron pertamanya memperlihatkan bagaimana Dedy mendekati agama dengan karya-karya pada awalnya. “Hikayat Pengembara” dan “Lorong Waktu” adalah serangkaian perenungan yang bersifat esoterik, yang lebih cenderung menukik masuk ke dalam diri (Dedy) daripada ditujukan kepada orang lain (penonton). Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa banyak episode merupakan hasil pengembangan dari anekdot-anekdot sufi atau kisah-kisah profetik yang dikenal luas di kalangan Islam. Saya menduga, pada fase ini muncul karena keengganan pada Dedy untuk menggurui penonton yang, dalam hal agama, mungkin lebih alim darinya. Fase ini cukup panjang. “Lorong Waktu” bahkan bercokol di televisi dalam 6 kali bulan puasa.

Lalu, muncullah film “Kiamat Sudah Dekat” (2002?). Selain menjadi penanda kemunculan kembali Dedy Mizwar di jagad film Indonesia setelah sekian lama menghilang, film ini juga jadi fase baru bagi sinema agama ala Dedy. Digarap dengan penyutradaraan dan sinematografi ala kadarnya, KSD adalah film agama yang enteng, ringan, namun juga menyenangkan. (Saya selalu terkenang kalimat “Pliss Allah!” yang diteriakkan tokoh Fandi sejak pertama menonton film itu hingga saat menulis uraian tak jelas ini). Tapi lebih dari itu, di film ini pula Dedy, menurut saya, mulai berdakwah kepada orang lain—dalam artian, mulai menjadikan filmnya sebagai tontonan yang menuntun.

Beberapa tahun kemudian—mungkin 3 tahunan—“Kiamat Sudah Dekat” muncul dalam bentuk serial di televisi. Hampir tak beda secara sinematografi dengan filmnya, dengan segera, bagi saya, serial ini tampak jauh lebih berat—dan jelas lebih bagus—dibanding filmnya. Kalau filmnya “hanya” bicara soal belajar salat, sunat, dan mengaji (dan tetek bengek kesalehan—sebut saja—individual-skriptural), maka edisi sinetronnya merambah ke penyantunan anak yatim, hingga keadilan sosial (yang banyak disebut sebagai kesalehan sosial-kontekstual). Lepas dari semangat dakwahnya yang makin kencang, fase ini, bagi penggemar Dedy Mizwar (dan, ehm, tontonan yang baik) seperti saya, merupakan fase terbaik. Jika karya sebelumnya, “Lorong Waktu”, terlalu artifisial dan kurang original—akibat terlalu banyak anekdot sufi yang dipinjamnya, serial “Kiamat Sudah Dekat” adalah karya yang paling bagus, rapi, tapi juga lucu sekaligus haru, dalam menghubungkan agama dan keadilan sosial yang pernah ada di Indonesia. (Bravo untuk sang penulis naskah, Musfar Yasin!!)

Di antara ini, Dedy membuat “Ketika” (?)—dengan Musfar Yasin sebagai penulisnya. Sedikit unsur agamanya, namun dakwah sosial-kemanusiaannya semakin keras saja. Sedikit pembeda film ini dengan film dan sinetron-sinetronnya sebelumnya adalah munculnya visi tentang, ah sebut saja, kesalehan nasional (kesalehan yang kira-kira bersifat kebangsaan). Meski masih dalam bayangan yang amat samar, negara-bangsa muncul dalam “Ketika” sebagai hal yang perlu diperbaiki. (Dan karena itulah mengapa korupsi, ikon Indonesia yang paling populer itu, menjadi benang merah cerita). Ya, setelah mulai terusik untuk memperbaiki umat, pada fase ini, Dedy Mizwar mulai terpanggil untuk memberi sumbangsih kepada negara dan bangsanya. Hasrat yang mulia tentu saja.

Sinetron “Para Pencari Tuhan” kemudian menyusul muncul. Terlihat seperti hendak kembali ke jenis “Lorong Waktu”, PPT, yang ditulis Wahyu HS (penulis “Lorong Waktu”), ternyata adalah sintesis bagus antara perenungan-perenungan sufistik ala “Lorong Waktu”, dorongan kepada kesalehan individual ala KSD (film), dan kesalehan sosial ala KSD (sinetron). PPT tak hanya bicara tentang pencarian kebenaran oleh tiga bekas penjahat kacangan (Baron, Juki, dan Chelsea) yang mencoba sadar, tapi juga tentang orang-orang miskin dan terpinggirkan (Asrul dan Udin Hansip) yang mencari keadilan Tuhan. Namun, untuk pencinta drama, PPT juga menyediakan kisah cinta berliku antara Aya dan Azam. Tak hanya lebih rumit dari kisah cinta Si Doel dan Sarah yang legendaris itu, hubungan Aya dan Azam, di beberapa bagian, menyajikan kecerdasan dan kedalaman yang—menurut saya—jarang ada tandingannya di film Indonesia.

“Naga Bonar jadi 2” (NB2) lalu menyela. Film ini memang dimaksudkan jadi sekuel Naga Bonar-nya MT Risyaf yang legendaris itu. Tapi, sungguh, film ini hampir tak ada hubungannya dengan naskah cemerlang bikinan Asrul Sani tersebut. Prekuel dari NB2, tak lain dan tak bukan, adalah film-film dan sinetron Dedy Mizwar sebelumnya. Namun, yang paling dekat secara genealogis dengan NB2 adalah “Ketika”, yang sama-sama ditulis oleh Musfar Yasin. Bila pada “Ketika” bayangan tentang negara-bangsa yang mesti diperbaiki masih tampak samar, maka pada NB2 negara-bangsa tampil dengan lebih telanjang dan siap untuk dihajar (meski, seperti yang akan kita lihat, belum sekeras dan sevulgar yang dilakukan oleh Dedy dengan “Alangkah Lucunya”). Vero, seorang teman yang biasa menulis tentang film, menyesalkan nada mashgul dan muram dalam diri Naga Bonar yang dulunya cuek dan dekonstruktif itu. Namun, saya membela dengan mengatakan kalau Naga Bonar mulai menjadi tua dan mengeras, dan ia telah tampak capai dengan apa yang dimukainya saat ini, persis seperti Dedy Mizwar. Naga Bonar, di tangan Dedy Mizwar, adalah Dedy Mizwar itu sendiri, adalah seorang tua yang mulai geram, yang tidak saja semakin tidak bisa mengerti dengan apa yang terjadi di sekitarnya tapi juga karena merasa tidak dimengerti.

Dan, Naga Bonar yang geram inilah yang kemudian muncul di sebuah jumpa pers di tengah hiruk-pikuk Pemilu 2009. Katanya, dengan meminjam mulut dan muka Dedy Mizwar, ia mau maju sebagai calon wakil presiden bersama seorang bekas tentara yang tersingkir, Jenderal Saurip Kadi. Ibas, teman saya, seorang pembahas politik yang bersemangat sekaligus apresiator film yang buruk, cemas dengan kenyataan itu. Ia, yang masih terus mencari kebenaran itu, takut kehilangan tontonan yang disukainya, PPT jika Dedy terlalu sibuk berpolitik, apalagi jika sampai terpilih (untungnya tidak—meski, malangnya, kita cuma dapat SBY). Saya juga cemas, bahkan setelah Dedy Mizwar tak pernah bisa lebih maju dari status “berniat menjadi kandidat calon wapres”. Saya takut, Dedy Mizwar menjadi semakin radikal saja.

Kekuatiran saya segera tampak pada PPT musim terakhir, yang dibikin setelah pencalonan Dedy. Meski tetap setia dengan kesalehan ritual dan kesalehan sosial khas produk DGCS, PPT musim ketiga menjadi sangat politis. Digerakkan oleh benang cerita tentang pemilihan ketua RT, PPT musim terakhir kemarin adalah melulu parodi politik atas Pemilu 2009 (saya bahkan menemukan sosok SBY pada Pak RW, yang peragu, sok cerdas, tapi manipulatif). Tapi, ini sinetron sahur, teman. Mana ada berkah sahur yang lebih baik dari sinetron seserius itu? Jadi, bagi saya, ini sama sekali bukan masalah. Namun, diam-diam, saya semakin kuatir.

“Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” (2010) kemudian menjawab kekuatiran itu.


3/
Sementara saya sedang muak-muaknya dengan hal-hal politis, AL(NI) tidak hanya terlalu politis tapi juga terlalu vulgar sebagai film sosial-politik. Omongan dan dialog soal koruptor dari para tokohnya, baik Muluk (Reza Rahadian) dan terutama Syamsul (Asrul Dahlan), terdengar seperti muncul dari megaphone para demonstran bayaran: sumbang, dangkal, diulang-ulang, dan karena itu klise. Muka-muka yang dimunculkan di layar oleh Dedy dan dikonstruksi oleh naskah Musfar Yasin terlalu emosional dan sekaligus putus asa—dan itulah wajah keseluruhan film ini. Sudah begitu, film ini gagap sebagai sebuah cerita—dan karena itu saya seperti habis melihat film (sejenis) Warkop. Film ini seperti ular yang memakan buntutnya sendiri: tak jelas juntrungnya. Dan, ah, iklannya itu lho... (untuk soal ini, terima kasih pada sebuah catatan yang saya temukan di dinding seorang teman di facebook).

Saya tidak terkejut dengan apa yang saya temukan di bioskop. Sejak melihat NB2, dan kemudian mengikuti PPT edisi terakhir, saya sudah memperkirakan film macam begini ini pasti akan muncul juga dari tangan Dedy Mizwar. Saya hanya sedikit menyesalkannya—terutama karena saya sangat menyayangi Dedy Mizwar dan menganggap Musfar Yasin adalah orang yang membuat saya berangan-angan menjadi penulis skenario.

Meski begitu, harus saya tegaskan, saya tidak keluar dari bioskop dengan marah—karena sudah membayar untuk menonton “Democrazy” edisi layar lebar. Saya tetap keluar dengan perasaan yang sedikit lega (lega, tapi sedikit, apa hayo?). Sebab di film ini kita menjumpai Slamet Rahardjo, Dedy Mizwar, Jaja Miharja, dan Tio Pakusadewo, yang itu jelas tak bisa disamakan dengan Mucle, Isa, dkk. di “Democrazy”. Menonton Slamet Rahardjo dan Dedy Mizwar dalam satu scene adalah sebuah pengalaman terbesar untuk pencinta film Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Jaja Miharja sama menyenangkannya dengan apa yang sudah ia tunjukkan dalam “Rindu Kami Pada-Mu”. Sementara Tio Pakusadewo tetap bersinar seperti biasa—macam apa pun peran yang dimainkannya.

Saya, meski secara keseluruhan tak begitu menyukai film ini, juga tak akan keberatan bertengkar dengan orang yang mencerca film ini secara keseluruhan. Bukan saja karena tidak semua bagiannya buruk, tapi karena di beberapa bagian film ini justru sangat berhasil (baca, lucu tapi juga mengiris). Meski berkali-kali menonton film tentang tekyan, gelandangan, dari berbagai masa, dari berbagai negara, dengan berbagai jenis, (dari yang realis seperti “Salaam Bombay”, liris semisal “Daun di atas Bantal”, sampai yang dilebih-lebihkan macam “Slumdog Millionair”), lanskap sangar Jakarta di belakang gedung-gedung tingginya yang ditunjukkan oleh AL(NI) tetap saja menggetarkan saya. Saya yang dibilang oleh beberapa teman terlalu membenci Jakarta, setelah melihat gambar-gambar sadis di AL(NI), merasa selama ini terlalu lunak. Jika penonton yang datang ke bioskop ingin tertawa, asal mau tertawa dengan cara yang pahit, saya rasa juga akan mendapatkannya. Misalnya, calon anggota dewan (Edwin) yang membawa laptop 15 juta-annya ke rumah cewek idamannya ternyata hanya ingin memperlihatkan wallpaper akuariumnya. Juga saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan ditutup ucapan “amin”. Bukannya terdengar lancang, saya justru menemukan kalau kata “amin” yang “remeh” dan dilakukan dengan penuh tawa lagi sembrono oleh para pencopet kecil itu telah mengubah sebuah himne yang gagah menjadi doa ratapan yang memelas (coba nyanyikan ulang: “...Hiduplah Indonesia Raya... Amin....”). Bagi saya, itu terdengar sama memelasnya dengan saat orang Islam mengucap ayat terakhir al-Fatihah: “Lindungilah kami dari jalan orang-orang yang Kau murkai dan orang-orang sesat...”. Dan tentu saja pertentangan yang konyol lagi sarkastis antara beternak cacing dan beternak kucing.

Tapi, saya juga sama sekali tak menyesal menonton AL(NI) karena, rasa-rasanya, saya baru saja menonton kelanjutan PPT jauh lebih cepat dari seharusnya (puasa masih lama bukan?). Ya, film ini amat dekat dengan PPT edisi terakhir. Kesinisannya terhadap negara, dialog tanpa jawab antara kesalehan individual dan kesalehan sosial, juga anomali-anomali dalam agama yang selama ini dianggap tak ada, dan—tentu saja—celetukan-celetukan nakal dan kocak yang mengguncang iman sekaligus ikat pinggang, semuanya tampak akrab di mata dan kuping saya yang biasa nonton PPT. Apa yang bisa kita temukan dalam AL(NI), semisal tukang warung yang selalu mengingatkan pelanggannya yang para bajingan untuk mengucap bismilah sebelum makan, koordinator copet yang garang namun memiliki sisi kenabian, kaum tua yang keras namun menyembunyikan keraguan, kaum muda yang ingin melawan tapi dengan cara yang canggung, juga penganggur yang menggugat negara sekaligus Tuhan, hampir semuanya bisa kita temukan padanannya pada PPT. Saya tak heran saat menemukan koordinator pencopet yang garang dan dingin itu (yang dimainkan dengan nikmat oleh Tio) memajang gambar Masjidil Haram besar di ruang tamunya. Sebab, di PPT saya sudah temukan tokoh Baha (pelaut pemabuk yang dermawan sekaligus berjasa membetulkan arah kiblat masjid) dan Robin (perampok budiman yang mengkoordinir para anak buahnya sembari berzikir memohon keadilan Tuhan).

Dan PPT lebih kental lagi muncul pada AL(NI) karena sebagian pemain PPT juga ambil bagian di AL(NI). Dedy Mizwar dan Asrul Dahlan yang mengambil peran cukup besar di film ini menjadi representasi paling jelas dari nafas PPT—lebih-lebih karena karakter Syamsul (yang terdidik, menganggur, dan karena itu penuh dengan gugatan) yang dimain Asrul Dahlan serupa benar dengan karakter Asrul di PPT. Dan lengkap sudah nuansa PPT ketika di ujung cerita, Udin Ngaga atawa Udin Hansip, ikon paling populer PPT selain Asrul Penganggur, muncul sebagai petugas Satpol PP.


4/
Dunia mungkin semakin reot dan makin tidak nyaman, sehingga orang-orang yang pada dasarnya berhati baik merasa memanggul tanggup jawab untuk turut memperbaikinya. Oleh karena itu, orang-orang semakin gemar berceramah, dan dai-dai bermunculan seperti tokek sehabis hujan. Hadis populer “ballighu anni walaw aayat” (artinya: sampaikanlah walau pun—yang kamu tahu—cuma satu ayat) dipraktikkan dengan cara yang setepat-tepatnya, yang belum pernah saya temukan sebelumnya. Orang-orang berlomba-lomba bikin buku nasihat.

Entah karena mulai terbiasa dengan “nasihat satu ayat”, atau memang, bersamaan dengan semua ini, segitu itulah kapasitas sebagian dari kita kini, dunia menjadi semakin bebal saja. Tanda-tanda tak lagi bisa dipahami. Metafora tak lagi punya guna. Kata-kata bersayap tak bisa dimengerti. Sindiran terdengar seperti sapaan. Peribahasa tak lagi terpakai. Puisi disingkirkan oleh iklan paling vulgar. Dan lagu-lagu liris digusur oleh lirik-lirik mentah.

Maka, pliss..., jangan heran jika kevulgaran terjadi di mana-mana, termasuk dari orang-orang baik lagi gelisah yang selama ini setia bersembunyi di balik benteng tanda dan metafora. Dari Devon, di pelosok Manchester, Inggris, sana, Matt Bellamy, penulis lagu untuk bandnya, Muse, menjelaskan semua perubahan lirik-lirik lagu-lagunya, dari gelap-liris-skeptis di album-album awal menjadi terang-vulgar-optimis, dalam satu baris di lagunya ‘Unnatural Selection’ (“Resistance”, ‘09): “I wanna speak in a language that they’ll understand.” Kiranya, itulah yang dilakukan oleh Iwan Fals dengan lagu-lagu terakhirnya (ah, sedih rasanya membandingkan lagu-lagu dalam “Cikal” dengan lagu-lagu pada “50:50”). Juga Goenawan Mohamad, pada Caping-caping terakhirnya, terutama di seputar Pemilu 2009, yang terang-jelas (namun, menurut saya, menyesatkan) itu. Pun Taufik Ismail, yang berubah dari penyair liris yang mengiris menjadi serupa klerik yang fanatik. Dan, tentu saja, Dedy Mizwar dengan AL(NI)-nya.

Tapi, meski tidak nyaman dengan film terakhir Dedy Mizwar, bagi saya, AL(NI) adalah kucing di jagad film Indonesia yang dipenuhi cacing. Pada saat kita tak kunjung punya sapi atau kambing, maka benar belaka kata para pemain kartu kepada Muluk di film ini, “daripada beternak cacing yang halal-haramnya belum jelas, piara kucing saja, karena kucing adalah binatang kesayangan Nabi.” Tapi, sesuai peringatan MUI, karena daging kucing kurang bergizi, maka sebaiknya dilihat sajalah, jangan dimakan.

5/
Untuk Pak Dedy, cobalah beternak Unta. Sebab selain menguntungkan, kata teman saya, Ajianto, “Unta itu binatang Islam.”***

[Catatan sahabat Mahfudz Ikwan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar