Minggu, 30 Mei 2010

SRI : Spionase Merpati


TEMPO Interaktif,Punjab - Polisi India menahan seekor burung merpati. Penjaga bersenjata menjaga merpati dalam sangkar setelah ditangkap, setelah diduga menjalankan misi mata-mata dari negara tetangga Pakistan.

Merpati berwarna putih itu ditangkap oleh penduduk setempat di Punjab, India, yang berbatasan dengan Pakistan. Burung itu kemudian dibawa (baca: digelandang) ke kantor polisi yang berjarak 40 kilometer dari ibu kota Amritsar.

Saat ditangkap, Merpati itu mengenakan cincin di kaki, yang tercantum nomor telepon Pakistan dan alamat pada tubuhnya dengan tinta merah.

Ramdas Chahal Jagjit Singh, seorang polisi, mengatakan ia menduga bahwa merpati itu mendarat di tanah India dari Pakistan dengan membawa sebuah pesan, walaupun tidak ada jejak catatan telah ditemukan.

Para pejabat telah mengarahkan bahwa tidak ada seorangpun yang diizinkan untuk mengunjungi merpati itu. Polisi meyakinkan bawha merpati itu mempunyai misi khusus telik sandi.

Burung itu telah diperiksa secara medis dan telah disimpan di sebuah ruangan ber-AC di bawah pengawalan ketat polisi. Pejabat polisi setempat telah meminta untuk memberi laporan tiga kali sehari untuk situasi yang terjadi, seperti dilaporkan Kantor Berita Press Trust India.

Chahal mengatakan merpati Pakistan di daerah perbatasan yang sensitif akan mudah diidentifikasi karena mereka terlihat berbeda dari merpati milik wargag India, papar Koran Indian Express.

Jumat, 28 Mei 2010

Perjuangan Wanita Jawa "Nyai Ontosoroh"

Perjuangan Wanita Jawa "Nyai Ontosoroh" Dipentaskan di Belgia
Sabtu, 29 Mei 2010 01:55 WIB | Hiburan | Seni/Teater/Budaya | Dibaca 595 kali
London (ANTARA News) - Nyai Ontosoroh, perjuangan seorang wanita Jawa yang mempertahankan hak dan martabat pribumi, drama teater garapan sutradara Wawan Sofwan dan produser Faiza Hidayati Mardzoeki mendapat sambutan meriah penonton di Zuiderpershuis Culturel Centrum, di kota Antwerpen-Belgia.

Standing applause selama kurang lebih 15 menit menunjukkan antusiasme penonton yang memadati ruang pertunjukan usai menyaksikan drama teater "They Call Me Nyai Ontosoroh," ujar Sekretaris III Pensosbud/Diplik, Royhan N. Wahab, kepada koresponden Antara London, Sabtu.

Dikatakannya cerita "They Call Me Nyai Ontosoroh" merupakan racikan atau adaptasi Faiza yang didasarkan pada novel "Bumi Manusia" (This Earth of Mankind) salah satu karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pada tahun 1980.

Penggarapannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun sebelum dilakukannya pertunjukan perdana pada tahun 2007 yang lalu di beberapa kota di Indonesia.

Drama teater berdurasi sekitar 100 menit tersebut didukung empat tokoh utama, Nyai Ontosoroh yang diperankan Sita Nursanti, Annelies oleh Agni Melati, Minke diperankan Bagus Setiawan, dan Willem Bevers sebagai Meneer Herman Mellema.

Riki Destiawan yang juga pernah manggung di beberapa tempat di Belgia bersama grup Lungsuran Daur pada Oktober 2009 yang lalu juga ikut mendukung drama teater tersebut sebagai Music Director.

Pertunjukan di kota Antwerpen-Belgia tersebut merupakan rangkaian terakhir pertunjukan drama teater "They Call Me Nyai Ontosoroh" di Eropa yang sebelumnya telah tampil di beberapa tempat di negeri Belanda.

Kepiawaian Faiza dalam membuat naskah cerita drama berdurasi asli 180 menit tersebut mampu membuat penonton larut dalam cerita yang mengisahkan perjuangan seorang wanita pribumi di Jawa Timur menghadapi realita ketidakadilan hukum yang dirasakan di masa lalu.

"Penonton seolah-olah benar-benar berada di dalam cerita tersebut", demikian pengakuan Made Wardana, seorang penonton yang sengaja datang dari kota Brussel hanya untuk menyaksikan penampilan drama teater tersebut.

Dalam pembuatannya, Faiza harus memangkas sekitar 400 naskah halaman cerita yang asli menjadi 60 halaman naskah peran. Dan tidak hanya itu, Faiza juga berkonsultasi dengan artis kawakan Slamet Rahardjo dan Jajang C. Noer demi meningkatkan kualitas cerita di dalam naskah.

Pertunjukan seni teater ini merupakan hal yang baru bagi promosi seni dan budaya Indonesia di Belgia, terutama drama teater yang disampaikan dalam bahasa Indonesia di depan publik Belgia.

Menurut Royhan N. Wahab, promosi seni dan budaya Indonesia dilakukan di Eropa khususnya Belgia, biasanya menggunakan media film maupun media seni tari dan musik yang sering kali didengar oleh telinga masyarakat Eropa menggunakan bahasa Indonesia.

Namun kali ini, melalui seni peran teater, bukan hanya seni teater Indonesia saja yang dipromosikan, namun juga bahasa Indonesia-nya.

Pusat Budaya Indonesia yang baru diresmikan Dubes Nadjib Riphat Kesoema, Maret lalu secara bertahap akan menjadi sentra promosi seni dan budaya Indonesia di Eropa khususnya di Belgia dan Luksemburg.

Seni drama teater Indonesia bisa menjadi salah satu andalan promosi seni dan budaya Indonesia di dalam Pusat Budaya tersebut ke depannya, demikian Royhan N. Wahab. (Ant/K004)

COPYRIGHT © 2010

Kamis, 27 Mei 2010

SRI : JANGAN PUTUS MENCINTAI



[ SMI: Jangan Putus Asa Mencintai Negeri Ini] SMI: Jangan Putus Asa Mencintai Negeri Ini

Liputan6.com, Jakarta: Kontroversi mengantar kepergian Sri Mulyani. Ada yang suka, banyak juga yang sedih. DPR masih menuntut penyelesaian kasus Bank Century yang menyebutkan mantan Menteri Keuangan dan Wakil Presiden Boediono bersalah karena memberi dana talangan ke Bank Century Rp 6,7 triliun.

Beberapa hari sebelum bertolak ke Amerika Serikat, Sri Mulyani mengaku diperlakukan secara tak adil bahkan dilecehkan secara politik terutama oleh anggota Pansus Hak Angket Century. "Mereka professional liar," kata Sri Mulyani ketika wawancara dengan reporter SCTV, Rike Amru di Studio Liputan 6, Jakarta, baru-baru ini.

Sri Mulyani mengaku banyak kenal dengan anggota Pansus Century karena sebelumnya juga menjabat Menkeu di Kabinet Indonesia Bersatu I. "Mereka bukan orang asing, saya kenal mereka. Saat menghadapi krisis bersama-sama. Namun [ketika di Pansus] mereka tidak menunjukkan rasa nuraninya, sedih, atau tidak enak," katanya.

Lebih jauh Sri Mulyani mengungkapkan kalau Pansus Century sangat mengincarnya. Yang lebih sakit lagi, dirinya divonis salah tanpa memberikan pembelaan terlebih dahulu. "Seseorang tidak diberi kesempatan membela diri tapi sudah diadili bahkan divonis tanpa ada proses...Ini ketidakadilan yang mendasar," kata Sri Mulyani.

Namun demikian, Sri Mulyani mengaku tak patah semangat. Sebab, Sri Mulyani menilai rakyat sudah pintar. "Rakyat sangat pintar membaca, melihat, dan menilai," ujar Direktur Pelaksana Bank Dunia ini. Dia menambahkan semua yang menimpa dirinya merupakan sebuah pelajaran terhadap risiko dari sebuah posisi atau jabatan.

Menutup pembicaraan, lulusan fakultas ekonomi Universitas Indonesia ini berpesan kepada masyarakat apapun posisinya tak boleh dijadikan alasan untuk tidak mengabdi pada Republik ini. "Negeri ini sangat luar biasa indah, jangan putus asa mencintai negara ini," pesan mantan Menteri Keuangan ini.(JUM)

Senin, 24 Mei 2010

Sri Mulyani Indrawati: IQ Saya 157


TEMPO Interaktif, Jakarta - Mundur dari jabatan Menteri Keuangan bukan berarti tanpa aktivitas. Sambil menunggu menduduki jabatan barunya sebagai Managing Director World Bank ia memiliki kesibukan baru yakni menghadiri puluhan acara perpisahan yang digelar para koleganya.

Ada yang sedikit berbeda dengan Sri Mulyani saat menjabat sebagai Menteri Keuangan dan setelah lepas dari jabatan itu. Meski agendanya padat, namun wanita kelahiran Tanjung Karang, 26 Agustus 1962, terlihat lepas. Saat serahterima jabatan Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Agus Martowardoyo pada Sri beberapa kali mengucurkan air mata. "Karena bukan menteri keuangan saya sekarang boleh menangis. Kepada Pak Agus jangan menangis nanti rupiah terguncang," katanya.

Sebelum berangkat ke Washington pada Rabu (26/5) nanti, Senin (24/5), Sri sempat bertandang ke kantor Majalah Tempo di Jalan Proklamasi. Dalam kesempatan itu Tempointeraktif bekerjasama dengan Yahoo! Indonesia mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Sri. Beberapa pertanyaan diambil dari Yahoo! Answers.


Anda bilang bisa tertawa lepas setelah 6 tahun berada di Kementerian Keuangan dan sangat cerah ketika menyanyikan lagu Send Me The Pillow. Apakah tawaran Bank Dunia itu merupkan The Pillow yang diimpi-impikan selama ini?
(Tertawa). Saya rasa lagu Send Me The Pillow itu lagu yang merupakan lagu yang disampaikan Mas Franky Sahilatua dan menggambarkan tentang simbol bahwa seseorang, termasuk saya, manusia biasa di dalam ranah publik mungkin kita harus memerankan suatu tanggungjawab yang tegar dan kuat. Kita sebagai manusia biasa membutuhkan suatu tempat untuk bisa melepaskan emosi maupun beban itu tanpa merasa bahwa ini merupakan suatu kecengengan atau suatu kelemahan.

Jadi sebenarnya tidak ada hubungannya juga (lagu) karena di Bank Dunia bukan Pillow karena dia merupakan suatu ranah publik lain yang sifatnya internasional yang bahkan tidak akan membiarkan dan membolehkan saya untuk menjadi orang yang cengeng.

Jadi saya rasa ini adalah tantangan dan tanggungjawab baru yang harus saya laksanakan sebaik-baiknya.

Waktu membawakan lagu itu suara Anda merdu sekali. Cengkoknya bagus. Sering latihan menyanyi?
(Tertawa). Dari kecil kami dulu biasa nyanyi. Keluarga kami ini memang keluarga yang suka seni. Ada yang suka nyanyi, ada yang suka menari, melukis.

Melihat perjalanan karir Anda, sepertinya Anda ini memiliki kemampuan yang luar biasa. Berapa sih IQ Anda?
Begini. Kebetulan waktu pindahan (dari rumah dinas) saya buka-buka file lama. Saat ini saya menemukan dokumen tes IQ saya waktu SMA. Biasanya setelah lulus SMA mau masuk universitas kan kita ikut tes IQ untuk melihat bakat dan kecerdasan. Saya lihat skor IQ saya waktu itu 157. (Ini tergolong tinggi. Pelukis Rembrandt van Rijn dari Belanda IQ-nya 155, pendiri Microsoft Bill Gates 160, fisikawan Albert Einstein 160).

Tahun berapa itu?
Itu dokumen tahun 1981, waktu saya mau masuk universitas. Ya itu, saya enggak merasa pinter tuh, biasa aja rasanya. Bahkan rapor saya rasanya angkanya tidak terlalu hebat-hebat amat. Jadi mungkin kebetulan saja.

Sudah hampir enam tahun memimpin reformasi birokrasi Kementerian Keuangan. Bagaimana kondisinya sekarang?
Lima tahun ini tiga undang-undang perpajakan semua diubah, mulai dari Ketentuan Umum Perpajakan, PPh, PPN, bahkan sekarang ada Pajak dan Retribusi Daerah. Jadi semuanya ini rezim baru. Nanti menteri keuangan yang baru yang harus menjalankan secara konsisten.

Mereka akan kehilangan itu dengan kepergian Anda. Kok Anda tinggal begitu saja? Apa Reformasi di Kantor Pajak masih bisa berjalan?
Karena sudah menjadi inheren dalam institusinya.

Kan jarang ada menteri yang mau ikut sampai detail, menyemangati anak-anaknya?
Kan tadi kita tidak bicara tentang itu.

Kan ini menyemangati saja…
Lha kok saya malah dimarahi? (ruangan pun penuh tawa)

Dalam wawancara dengan Tempo sebelumnya, Sri Mulyani menjawab pertanyaan seputar apakah dia didesak oleh kelompok tertentu. Berikut petikannya:

Kapan persisnya Anda diminta Bank Dunia untuk bergabung?
Ya seperti yang sudah disampaikan Bapak Presiden saja.

Apa betul sejak tahun lalu?
Itu cerita versi siapa? Ya, cerita sendiri saja, tapi bukan dari saya (tertawa).

Beberapa bulan lalu, Presiden Bank Dunia berbicara kepada pengusaha Jusuf Wanandi. Katanya, Indonesia telah memperlakukan menteri keuangannya dengan sangat buruk dan, karena itu, Bank Dunia akan merekrutnya?
Kalau begitu, kutip saja dari Pak Jusuf Wanandi, he-he-he.... Saya malah enggak tahu.
Anda merasa ada kelompok yang mendorong Anda mundur sebagai Menteri Keuangan?

Saya fokuskan kerja di sini saja. Soal analisis pernyataan tokoh-tokoh itu, biar Tempo saja yang mengerjakan.

Jika Presiden tak mengizinkan Anda pergi, Anda akan tetap memaksa?
Kita ngurus negara kan enggak seperti anak kecil yang mudah ngambek. Ketika saya menjadi menteri, saya membantu Presiden. Saya hormat kepada beliau.

Anda bahagia dengan pilihan Anda meninggalkan kabinet?
Ya, happy, ha-ha-ha....

Lama dong nanti meninggalkan Indonesia?
Kayak ke mana saja. Saya pasti kembalilah. I'll be back.

Rabu, 19 Mei 2010

FAKTA MENGEJUTKAN TENTANG INDONESIA



M. HARIWIJAYA & BERTIANI EKA SUKACA


Tahukah Anda, negara Indonesia adalah negara kepulauan terluas di dunia?
Indonesia terdiri dari 18.500-an pulau, membentang sepanjang lebih dari 1.906.240 km2.
Jika Anda naik pesawat dari Aceh sampai Jayapura, perjalanan di udara selama 8 Jam, Anda masih berada di langit Indonesia. Bagaikan melintas sepuluh negara di Eropa.


Tahukah Anda, jumlah Penduduk Indonesia adalah
terbesar ke-4 di dunia setelah China, Amerika dan India?
Jumlah penduduk Indonesia adalah + 208.472.770 jiwa (sensus 2004), dan saat ini sudah mencapai 217.000.000 jiwa. Luar biasa bukan?


Tahukah Anda, bangsa Indonesia memiliki jumlah suku terbanyak di dunia?
Jumlah suku-suku di Indonesia lebih dari 460 suku. Suku terbesar adalah Jawa, Melayu, Sunda, Madura, Batak, Aceh, Ambon, Dayak, Bali, Bugis, dan Makassar.


Indonesia memiliki kekayaan bahasa terbanyak di dunia,
yakni lebih dari 460 buah bahasa lokal. Setiap suku mempunyai bahasa tersendiri.


Tahukah Anda, Indonesia merupakan negara ke-16 terbesar wilayahnya
menurut buku The New Book of World Rangking (NBWR) edisi 1984.


Tahukah Anda, Indonesia merupakan negara tertua ke-70 di dunia.


Tahukah Anda, pada bidang pertahanan keamanan dinyatakan sebagai negara kuat ke-11 di dunia pada era pemerintahan Soeharto.


Tahukah Anda Merupakan negara penghasil beras ketiga dunia


Tahukah Anda Merupakan negara penghasil kopi keempat dunia



Tahukah Anda Merupakan negara penghasil kacang tanah kelima dunia

Tahukah Anda, Indonesia merupakan negara penghasil kayu terbanyak ketujuh di dunia. Sumber kayu terbesar di Indonesia adalah Kalimantan. Kayu terbagus untuk ukir mebelair dunia adalah Jati dan pohon jati hanya tumbuh di Pulau Jawa.


Tahukah Anda, Indonesia merupakan pemilik garis pantai terpanjang ke-12 dunia.


Tahukah Anda, Indonesia merupakan pengguna sepeda motor terbesar keenam dunia


Tahukah Anda, dalam pelayaran dalam negeri Indonesia menempati posisi keempat dunia


Tahukah Anda, dalam hal penerbangan sipil Indonesia menempai posisi ke-12 dunia


Tahukah Anda, dalam hal lapangan udara Indonesia menempati posisi ke-17 dunia


Tahukah Anda, Indonesia menempati rangking ketiga dalam hal angka neraca perdagangan di dunia sebagai suplayer bahan mentah


Tahukah Anda, Indonesia merupakan negara dengan ummat Islam terbesar di dunia?


Tahukah Anda, jumlah jamaah haji Indonesia adalah terbesar di dunia?
Jumlah jamaah haji Indonesia pada tahun 2008 adalah ........ jiwa dan selalu bertambah 10 % setiap tahun.


Tahukah Anda, Indonesia adalah negara terkorup ke-2 di dunia?
Negara terkorup di dunia adalah .....
Sedangkan negara terbersih adalah ....


Tahukah Anda, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia saat ini?
Indonesia terdiri lebih dari 400 kabupaten, 135 kota, 34 propinsi.
Berarti dalam 3 hari, terjadi 1 kali pemilu memilih bupati, gubernur, presiden maupun calon anggota legislatif.


Tahukah Anda, pemilu 2009 adalah pemilu paling konyol
di dunia karena diikuti oleh 38 partai. Belum pernah ada negara yang menyelenggarakan pemilu multipartai dengan jumlah kontestan seperti Indonesia.


Tahukah Anda, kota Yogyakarta adalah kota terbersih dari korupsi di antara 50 kota se-Indonesia. Survei yang dilakukan Transparency International Indonesia yang dilaporkan pada Januari 2009 menunjukkan bahwa yogyakarta memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 6,43 dari 50 kota di Indonesia yang terdiri dari 33 ibu kota provinsi dan 17 kota yang signifikan secara ekonomi menurut BPS.


Tahukah Anda, Polri merupakan institusi paling korup di Indonesia? Survei yang dilakukan ... yang dilaporkan pada Januari 2009 menunjukkan
................. Institusi terkorup berikutnya adalah Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama.


Tahukah Anda, Indonesia memiliki jumlah Kyai dan Ulama terbanyak di dunia. Jumlah Pondok Pesantren juga terbanyak di dunia.

Tahukah Anda, buku sistem belajar huruf Arab “Iqra’” karya Ustadz Humam Abu Bakar dari Kotagede Yogyakarta merupakan metode belajar huruf Arab bagi bangsa non-Arab terbaik dunia. Buku ini telah menembus Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, India, Pakistan, Kamboja, bahkan negara-negara Afrika.


Tahukah Anda, cadangan tembaga-emas di Papua merupakan terbanyak di seluruh dunia?
Data menunjukkan cadangan emas dunia adalah ...


Tahukah Anda, orang Indonesia terkaya menurut majalah Warta Ekonomi ialah Sudono Salim (Liem Sioe Liong) lahir 1916 dengan kekayaan sekitar US$ 2,4 milyar (1999).


Tahukah Anda, patung paling besar di Indonesia ialah patung Dwarapala Singasari yang berada di Candi Renggo, Kec. Singasari, Malang Jawa Timur dengan berat sekitar 40 ton dan tinggi 3 m.


Tahukah Anda, medali olympiade pertama (medali perak), direbut oleh panahan Indonesia pada waktu Olimpiade Seoul 1989 yang terdiri dari: Nurfitriyana, Kusumawardhani, Lilies handayani.


Tahukah Anda, masjid paling besar ialah masjid Istiqlal di Jakarta dengan kubah 45 m, gambar bulan dan bintang dari baja anti karat bergaris tengah 3 m. Gedung pendahuluan dan emper penghubung seluas 36.989 km2. Teras raksasa dan emper keliling seluas 29.850 m2, menara setinggi 6.666 cm dan lingkar 500 cm. Kapasitas tampung di ruang utama seluas 100 x 100 cm ialah 50.000 orang.


Tahukah Anda, masjid Kubah Mas Depok Jakarta, adalah masjid terindah di seluruh Asia. Dibangun oleh keluarga H. Saimun dengan kompleks seluas ......
Seluruh ornamen utama masjid berlapiskan emas. Kubah yang berukuran 9 x 9 m dilapisi emas 24 karat.


Tahukah Anda Candi Hindu tertua ialah Candi Pendawa di Dieng (dekat Wonosobo), Jateng, 650 M. Candi Hindu termegah adalah Candi Prambanan di Yogyakarta, 810 M. Candi Buda terbesar adalah Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah, 800 M.


Tahukah Anda Al Qur’an paling kecil ukuran: 2,3 x 1 cm, tebal 2 cm, memuat 30 juz, pemilik: keluarga M. Djaelani, Semarang. Al Qur’an paling besar ukuran 2 x 1,5 m milik pesantren Al ‘Asy’ariyah Wonosobo, Jateng dan merupakan paling besar di dunia.


Tahukah Anda Penghargaan Internasional pertama untuk produk jamu adalah Galian Singset produksi Jamu Jago yang memperoleh Medali Emas Selection dari Institute pour les Selections de la Quality, Belgia pada tahun 1984.


Tahukah Anda, letusan gunung berapi terdashyat di dunia terjadi di Gunung Nusa Tenggara Timur ...
Ledakan gunung berapi paling besar, terjadi pada tanggal 27 Agustus 1883 sewaktu Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus. Lebih dari 160 desa hancur dan 36.380 jiwa manusia binasa. Kekuatan ledakan diperkirakan 26 kali lebih besar dibandingkan ledakan percobaan bom Hidrogen buatan manusia yang terdahsyat (Uni Sovyet). Juga rekor dunia.


Tahukah Anda Gunung api paling rendah (hanya 232 m di atas permukaan laut) berada di pulau Banda. Gunung api paling tinggi (5.000 m di atas permukaan laut) terdapat di Pulau Sangir. Gunung paling tinggi (4.884 m) terdapat di Irian Jaya yaitu Puncak Jaya wijaya. Gunung api paling aktif adalah Gunung Merapi di Yogyakarta - Jawa Tengah, lebih dari 84 kali letusan dan lelehan lahar dalam setahun.


Tahukah Anda Kabupaten terluas (132.220 km2) ialah kabupaten Merauke di Irian jaya.

Tahukah Anda Gelombang tsunami paling besar terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, pukul 08.40 WIB. Terjadi di pantai selatan, barat, utara Aceh dan Sumatra Barat, serta negara Srilangka, India, Thailand, Madagaskar, dan Afrika. Korban Indonesia lebih dari 176.000 orang meninggal dunia dan 220.000 orang mengungsi dan kehilangan tempat tinggal.


Tahukah Anda, kota Kupang adalah kota terkotor dari korupsi di antara 50 kota se-Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia yang dilaporkan pada Januari 2009 menunjukkan bahwa Kupang memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,97 dari 50 kota di Indonesia yang terdiri dari 33 ibu kota provinsi dan 17 kota yang signifikan secara ekonomi menurut BPS.


Tahukah Anda, pulau jawa merupakan paling padat penduduknya Dengan kepadatan penduduk di atas 700 jiwa setiap kilometer persegi, dan rata-rata laju pertumbuhannya sedikit di atas 2% setahun


Secara geologis, pulau ini tergolong salah satu pulau tertua di Nusantara. Lipatan kerak bumi yang membentuk barisan Pegunungan Schwaner dan Muller memiliki beberapa puncak



Tahukah Anda,Arca terbesar di Indonesia ialah arca dwarapala Singasari yang berada di Candrenggo kecamatan Singasari, Malang, Jawa Timur dengan tinggi 3 meter.




Tahukah Anda, Meriam paling unik bernama Si Jagur di taman Fatahillah jakarta





Tahukah Anda pulau peling besar adalah pulau kalimantan dnegan luas 737.000 km2



Tahukah Anda birama ¾ dalam komposisi musik gamelan pertama kali digunakan ol;eh Ki Nartosabdo (1925-1987)


Tahukah Anda, buku terkecil 6x6x6 mm pertama kali dimiliki oleh Suwarno, semarang.


Tahukah Anda, curah hujan tertinggi (5,254 mm pada bulan Agustus 1986) terdapat di pulau maluku Sulawesi Tengah




Tahukah Anda, danau terluas di Indonesia adalah Danau toba di Sumatra utara dengan luas 1.773 km2.



Tahukah Anda, foto berita pendaratan manusia pertama di bulan diberitakan di surat kabar Indonesia Suara Merdeka semarang.



Tahukah Anda, goa terpanjang ( 2000 m) ialah goa Petruk di Kabupaten Kebumen.


Tahukah Anda, gunung api terendah hanya 232 m diatas permukaan laut berada di pulau banda.


Tahukah Anda, gunung api tertinggi 5000 m di atas permukaan laut terdapat di pulau Sangir.


Tahukah Anda, Gunung tertinggi di Indonesia adalah Puncak jaya wijaya 4.884 di Irian jaya.


Tahukah Anda, Jembatan paling panjang Indonesia adalah Jembatan Suramadu, dan kedua jembatan Air Musi II Palembang.


Tahukah Anda, Indonesia merupakan jumlah perokok terbesar ketiga didunia.. 240 milyar produksi rokok pertahun di Indonesia.

6.5 detik 1 orang meninggal dunia karena rokok,

178 mati per hari karena rokok

Jumlah perokok di indonesia sekitar 140.800.000 orang.

Senin, 17 Mei 2010

Sendratari Kasetyaning Pembayun



Sendratari Kasetyaning Pembayun
:Ki Ageng Mangir Wanabaya

Dening : WIDHI HARYANTO SUBEKTI

Mijil:
Dhuh Pembayun / Pudyanku wong kuning/Cahyane mancorong/Gandhes luwes kewes wicarane

Dhuh kakang paduka pundhen mami / Kawula sayekti bekti marang kakung//...


~Jantung Hati:
selepas malam
dendang dan wayang
ledhek merentas jurang
hati ingatan mengikat kenang
meraba warangka dipinggang

**kuselami sunyi
agar menemukan arti
mengais hatimu yang setenang sejuk pagi
kutimpuhkan kaki manunggal semedi *

+Pembayun
disawah cangkul bergandeng sabit
kerbau kerbau menarik bajak
kuintip senyum manis telaga
binal menggoda tandak sampur selendang
kucium lenguh nafasmu dinafasku
kuantar kau untuk bakti

-Kakang Mangir
kuantar kau mempertemukan kening dengan sujud
membuka pintu alam merdeka
bebas melayang merenda mayapada
hujan menyeka langit basah
kerismu tanpa cela
berbahan warangka hati
luk sembilan tujuh atau tiga
ganjil karena Sang Ada menyukai hitungan ganjil
penggenapnya adalah raga masing masing jiwa

kakang Mangir
curiga wus manjing warangka
darahmu menggelegak menggelinjangkan rahimku
senyum pasrahmu bercinta dengan maut
meniti nirwana penuh keagungan
tegak leher luruh

bersama sorot tajam mata
menelajangi hunus watu gilang
lenyap menyatu dengan Yang Tiada
menyenggamai puja
lahirkan semesta
watu gilang terbalut tubuhmu

~[separuh ragamu terbaring disana
separuh lainya kau tetap bersama tanah perdikan Mangir
dimana rakyatnya mencintai dan kau cintai]

-watu gilang sujud akbar
asap dupa stanggi
kembang setaman
tirta suci perwitasari
sembah bakti
lebar tangan sambutan kekasih
darah suci tertumpah
memecah kebekuan
~[darahmu mengguyur menyiram bumi
pupuk subur tetumbuhan hijau]
gending mengalun pelan nganyut tuwuh
............................campuh


~[segerombol kanak kanak ditanah lapang bergembira ria berhasil menaikan layanglayang keudara mengatur tali kekang mereka meneriakan namamu
"Ki Ageng...Ki Ageng,benihbenih tlah tumbuh tunas
kau pertemukan biji dengan tanah
Ki Ageng...Ki Ageng,benihbenih tlah tumbuh tunas..." dan tawa polos itu.]

Dhuh Pembayun / Pudyanku wong kuning/Cahyane mancorong/Gandhes luwes kewes wicarane

Dhuh kakang paduka pundhen mami / Kawula sayekti bekti marang kakung//...


Depok,08022010.01.21 wib

Amien Rais: Penahanan Susno Itu Ancaman



VIVAnews
By Pipiet Tri Noorastuti - 2 jam 15 menit lalu


VIVAnews - Mantan Ketua MPR Amien Rais menilai penetapan mantan Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji sebagai tersangka yang diikuti dengan penahananmerupakan ancaman terhadap upaya pemberantasan mafia hukum.

"Jadi ini isyarat kepada mereka yang ingin mengikuti jejak Susno akan bernasib sama," kata Amien di kediamannya, Sawitsari, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta, Senin, 17 Mei 2010

Meski demikian Amin berharap bahwa kasus Susno ini membangkitkan harapan perlawanan demokrasi bagi setiap anak bangsa yang masih menginginkan kebenaran dan keadilan.

"Sesungguhnya kasus Susno ini tinggal kuat-kuatan saja. Kekuatan yang mapan terus bercokol dan tidak bisa dilakukan penyegaran maka masa depan bangsa ini tidak ada perubahan," ujarnya.

Amin menambahkan, untuk melakukan perubahan semuanya kembali kepada semua anak bangsa yang ingin melihat perubahan. Apakah mereka sanggup melakukan koreksi dan resistensi demokratis. Meski koreksi yang dilakukan tidak perlu meniru kejadian di Thailand yang dihadapkan dengan perang saudara.

"Kejadian di Thailand sangat merugikan bagi mereka sendiri. Ketika tidak ada kompromi antara yang berkuasa dengan lawan politiknya," ujarnya.

Susno ditetapkan sebagai tersangka kasus mafia hukum PT Salmah Arwana Lestari. Penetapan tersangka dan penahanan dilakukan tak lama setelah Susno mengungkap sejumlah nama yang diduga terlibat dalam praktik mafia hukum di tubuh kepolisian. (umi)

Laporan : KDW| Yogyakarta

PILIH MENGEMIS


TEMPO Interaktif, Kediri - Dinas Pendidikan Kota Kediri menemukan fakta baru di balik ketidaklulusan peserta Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) tingkat sekolah dasar. Selain kurangnya kemampuan akademis mereka, sebagian siswa di antaranya lebih memilih menjadi pengemis dibandingkan ikut ujian.

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Kediri Umi Laila mengatakan temuan tersebut muncul saat petugas Dinas Pendidikan mengobservasi siswa di rumahnya masing-masing. Sejumlah siswa yang berprofesi sebagai pengamen justru menolak mengikuti ujian dan memilih mengemis. “Sehari-hari mereka memang suka mengemis,” kata Umi Laila kepada Tempo, Senin (17/5).

Menurut data Dinas Pendidikan setempat, jumlah peserta UASBN tingkat dasar kemarin mencapai 4.644 siswa sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Dari jumlah tersebut sebanyak delapan di antaranya dinyatakan tidak lulus dan diberi kesempatan mengikuti ujian susulan. Sayangnya, hanya tiga siswa yang bersedia mengikuti ujian susulan yang diselenggarakan 10 Mei tersebut. Sedangkan sisanya memilih tidak mengikuti ujian dan menjadi pengemis.

Umi Laila mengaku sudah mendekati keluarga maupun siswa yang bersangkutan. Bahkan petugas terpaksa menjemput mereka ke rumah masing-masing saat ujian susulan berlangsung. “Tapi itu kemauan mereka sendiri,” katanya.

Meski mengaku prihatin atas kondisi tersebut, Umi Laila tidak bisa berbuat banyak karena persoalan tersebut menyangkut kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dia khawatir keterputusan sekolah ini akan menumpuk angka pengangguran di kemudian hari.

HARI TRI WASONO

SRI : 1 TAHUN 2 BULAN UNTUK DUDHIE


Hakim: Dudhie Ditelepon Panda Nababan
Kata hakim, uang yang diterima Dudhie dibagikan kepada Anggota Fraksi PDIP Komisi IX.

Elin Yunita Kristanti, Ita Lismawati F. Malau

VIVAnews - Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis dua tahun bui dan denda Rp 100 juta pada mantan anggota DPR RI, Dudhie Makmun Murod dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Dalam pembacaan putusan, majelis hakim menilai, Dudhie melakukan korupsi bersama-sama dengan Anggota Fraksi PDIP periode 1999-2004 di Komisi IX atau Komisi Perbankan.

"Dudhie ditelepon sekretaris fraksi saat itu, Panda Nababan, untuk bertemu dengan Arie Malang Judo," kata hakim anggota, Sofialdi dalam sidang pembacaan putusan, Senin 17 Mei 2010.

Pada tahun 2004, kata Sofialdi, Dudhie melakukan pertemuan dengan Arie di Restoran Bebek Bali.

"Dalam pertemuan itu, Dudhie menerima uang sebesar Rp 9,8 miliar," kata Sofialdi.

Uang itu, lanjut dia, kemudian dibagi-bagikan ke seluruh anggota Fraksi PDIP Komisi IX. "Sehingga ada unsur turut serta anggota Komisi IX itu," tambah Sofialdi.

Sebelumnya, Majelis menilai Dudhie terbukti bersalah menerima suap berupa traveller cheque (TC) 10 lembar dengan nilai total Rp 500 juta saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) tahun 2004.

Penerimaan hadiah atau janji ini, kata hakim, berkaitan dengan kekuasaaan serta kewenangan jabatan yang bersangkutan sebagai anggota DPR. Dudhie pun dijerat dengan dakwaan kedua, yakni Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Selain vonis penjara, Dudhie juga diwajibkan membayar uang denda sebesar Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara.

***

Sebelumnya Panda Nababan membantah terkait dengan kasus Dudhie. Dia menolak dikatakan sebagai koordinator pemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009.

"Itu tidak benar, dalam persidangan pun, Tjahjo Kumolo menyampaikan tidak pernah menunjuk saya sebagai koordinator," kata Panda, di Jakarta, Selasa 4 Mei 2010.

Panda pun membantah bahwa dia telah memerintahkan Dudhie untuk mengambil titipan di Restoran Bebek Bali. Titipan itu kemudian dibagi-bagikan kepada anggota Fraksi PDI Perjuangan di Komisi IX DPR.

"Saya sudah menanyakan kepada terdakwa darimana menerima Travellers Cheque BII tersebut, dan dijawab oleh terdakwa ada diantar seseorang (terdakwa lupa namanya). Maka sangat aneh jika di kemudian hari terdakwa malah mengatakan ada perintah dari saya untuk mengambil travellers cheque serta menyuruh membagi-bagikan kepada anggota komisi IX FPDIP di DPR," jelasnya. (umi)

Minggu, 16 Mei 2010

SRI : FILM UNTUK ACEH


Oleh Linda Christanty

HUJAN turun menjelang sore sepanjang April hingga awal Mei 2009. Khalidin Daud, atau biasa dipanggil Abu Khalidin, menelepon saya dan menyarankan kami berangkat ke Geumpang di pagi hari. “Kalau kesorean, nanti hujan. Jalan licin,” katanya pada saya.

Khalidin adalah bekas gubernur pertama Aceh Merdeka (AM). Usianya 59 tahun. Ia tinggal di desa Ulee Ceue, Pidie. Ia akan mengenalkan saya pada sahabatnya, Syamsudin bin Ahmad atau biasa dipanggil Geuchik Din. Lelaki itu pejuang AM angkatan pertama dan salah satu ideolog gerakan perlawanan tersebut. Perjalanan menuju rumah Geuchik Din melewati jurang dalam dan tebing yang mudah longsor di musim hujan. Khalidin juga menyarankan kami sudah meninggalkan Geumpang di sore hari. Dalam kegelapan malam dan deras hujan, pengemudi mobil sukar melihat jurang dan tebing longsor itu. Teledor sedikit saja, mobil bisa tergelincir ke jurang.

Perjalanan ke Geumpang ini merupakan bagian dari pembuatan film saya tentang sejarah Aceh Merdeka, yang kelak dijuluki Gerakan Aceh Merdeka atau GAM oleh pemerintah Indonesia. Saya akan mewawancarai para bekas pejuang yang usianya sudah tak muda lagi untuk merekam pengalaman mereka sebagai saksi-saksi sejarah negerinya.

Azhari, direktur Komunitas Tikar Pandan, sahabat saya dan sastrawan Aceh, meminjamkan kamera dan mengutus seorang anggota komunitasnya untuk membantu saya. Kelak film ini akan jadi wujud kerjasama sindikasi media Aceh Feature dan Komunitas Tikar Pandan.

Biaya pembuatannya tak ditanggung satu sponsor pun. Wawancara dan pengambilan gambar tak ditentukan jadwal kerja, melainkan jumlah lembar rupiah di saku saya.


USUL Abu Khalidin gagal terlaksana. Beberapa anggota tim tidak disiplin.

Teuku Zulfahmi atau biasa disapa Fahmi, Fajri, dan Darussalam baru menjemput saya pukul 12.30 di restoran ayam goreng di kawasan Peunayong. Saya menunggu mereka hampir tiga jam!

Fahmi pernah menjabat sekretaris jenderal Partai Gapthat, partai yang dibangun para ulama Aceh dan berbasis di dayah-dayah. Partai ini tidak lolos verifikasi, sehingga gagal jadi partai peserta Pemilu 9 April 2009 lalu. Fahmi ayah dari tiga anak laki-laki. Kakaknya, Cut Nur Asikin, pernah jadi juru runding GAM dan dihukum 14 tahun penjara oleh pemerintah Indonesia. Di tahun kedua masa tahanannya, tsunami menyapu Aceh dan meratakan penjara Lhok Nga tempat Cut Nur dikurung. Sore harinya Fahmi menumpang pikap tua dan disambung jalan kaki menuju Lhok Nga untuk mencari kakaknya. Ia hanya melihat dataran luas, sunyi, dan tiga tentara bersenjata yang mondar-mandir bingung tapi masih sempat menghardiknya. “Beberapa hari kemudian ada orang memberitahu saya bahwa dia melihat jasad kakak. Entah benar, entah tidak. Kak Cut mungkin dimakamkan di salah satu kuburan massal,” katanya.

Fajri terhitung cucu Ismail Hasan Metareum, tokoh Partai Persatuan Pembangunan, partai nasional yang berpusat di Jakarta. Ibunya dan Ismail kakak-beradik kandung. Namun, Fajri tak pernah ikut partai politik dan tak suka politik. Ia ayah dari dua anak. Tadinya Fajri bekerja sebagai sopir truk antar kota sebelum beralih profesi jadi sopir mobil sewa. Saya mengenalnya dari Fahmi. Mereka teman sepermainan sejak kecil. Sejak Ismail wafat, hubungan keluarganya di kampung dengan istri dan anak-anak Ismail tak lagi akrab. Ia mengenang almarhum pamannya sebagai orang yang santun dan murah hati. “Dia tak membeda-bedakan latar belakang orang,” katanya. Metareum adalah nama kampung mereka. Orang-orang Aceh punya kebiasaan mencantumkan nama kampung kelahiran di belakang nama mereka.

Darussalam atau Darus adalah adik kandung Yahya Muaz, sekretaris jenderal Partai Aceh atau PA. Penampilannya sederhana dan tak banyak cakap. Suara tawanya tak sekeras yang lain ketika menyambut cerita lucu. Ia hanya bicara kalau ditanya. Berbeda dengan abangnya, ia sama sekali tak tertarik pada politik. Kakek mereka dulu pernah dibuang ke Pulau Jawa. “Kami memang dari keluarga pemberontak,” katanya pada saya. Ia pulang ke Aceh karena hendak ikut mencontreng dalam Pemilu Aceh bulan April 2009. Bertahun-tahun Darus tinggal di Jakarta. Istrinya bekerja sebagai pegawai negeri sipil di sana.

“Yang tak ada bagiannya di Pemda Aceh sini. Darus ingin istrinya pindah, tapi nggak bisa, karena nggak ada bagian itu, entah apa nama bagiannya,” kata Fahmi, tertawa.

Darus hanya senyum-senyum.

Di daerah Batei, mobil kami berhenti di muka sebuah masjid yang merupakan bagian dari pesantren. Fahmi turun dari mobil. Saya, Fajri, dan Darus tetap di mobil. Fahmi hendak menjemput Teungku Fakhrul, bekas pengawal Abdullah Syafei, panglima tertinggi GAM yang ditembak tentara Indonesia pada 2003.

Fakhrul bersetelan kemeja dan pantalon rapi, juga mengenakan sepatu kulit. Ia baru saja menghadiri kenduri. Ia langsung duduk di jok tengah bersama saya. Fahmi di depan, di samping Fajri sebagai pengemudi. Darus memilih menyendiri di jok belakang.

Mobil pun bergerak lagi, melaju ke Pidie. Kami akan menjemput Khalidin.

Sepanjang jalan Fakhrul dan Fahmi bercerita soal kepulangan singkat Hasan Tiro pada November 2008. Kini pencetus kemerdekaan Aceh itu telah berada di Aceh lagi. Ketika Tiro berada di satu rumah di Pidie pada November itu, seorang kawan seperjuangannya yang tak masuk dalam daftar undangan memaksa menemuinya. Ia bahkan ingin ikut bersama Tiro ke Swedia. Tengku Ishak, nama lelaki itu. Ia kehilangan semua anak lelakinya dalam konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan GAM.

“Kata pendamping Wali, entah Malik Mahmud, entah siapa, jangan ikut dulu, tapi dia membentak, ‘diam kamu, saya ada urusan dengan Tengku Hasan, saya mau ikut dengan dia. Sudah lama sekali saya ditinggalkan, bahkan suatu hari dulu dia menenangkan kami dengan ‘halo, halo, mereka segera datang, kami dalam keadaan terdesak’. Amerika sudah datang katanya. Terus dia pergi, tidak pulang lagi’ Begitu kata Tengku Ishak,” tutur Fakhrul, terbahak-bahak.

Wali adalah sebutan orang Aceh untuk Hasan Tiro. Secara harafiah, artinya pewaris atau penjaga kedaulatan.

Kami semua terbahak, membayangkan sang pemimpin berpura-pura bicara pada Amerika yang akan memerangi Indonesia, tapi melalui jam weker yang disamarkannya sebagai telepon.

“ Siapa yang bercerita soal Tengku Ishak ini?” tanya saya.

“Itu sudah rahasia umum. Suatu hari kalau kakak menanyakan langsung pada Wali apa yang terjadi, secara pribadi, jangan ada orang lain ya, Wali juga akan mengatakan yang sebenarnya pada kakak,” kata Fakhrul, lagi.


TAK berapa lama Fakhrul membuka tas plastik yang dibawanya. Ia mengeluarkan beberapa helai surat dan potret seorang pria.

“ Ini foto abang saya,” katanya. Orang dalam potret berambut agak gondrong, bertubuh kurus.

Fakhrul juga menyodorkan sehelai surat pada saya. Kertas itu tampak lusuh, tapi tulisan yang tertera di situ masih jelas terbaca. Penulis surat bernama Teungku M Rasyid Meuraxa.

“Setahu saya, dia dulu di bawah Panglima Daud Paneuk. Setahu saya, dia yang menguasai gerilyawan dalam gunung,” kata Fakhrul.
Daud Paneuk adalah bekas anggota Darul Islam di Aceh. Ia salah satu pengikut Daud Beureuh. Pada 1953, Mayor Jenderal Daud Beureuh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, memimpin pemberontakan terhadap republik dengan memproklamasikan Darul Islam di Aceh, sebagai bagian dari Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia yang dipimpin Sekarmaji Kartosoewirjo di tanah Jawa. Penyebabnya, pemerintah Soekarno tak mau memberi otonomi untuk Aceh dan menetapkan Aceh jadi bagian Sumatera Utara. Hal ini akan memperkecil basis suara untuk Masyumi, partai Islam tempat Beureuh bergabung. Di masa Soekarno, Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi pernah bekerjasama untuk menggulingkan pemerintahannya dengan bantuan senjata dari Amerika. Beureuh kelak menyerah dan bekas pasukannya diberi pekerjaan oleh pemerintah Soekarno, di lembaga sipil maupun militer. Namun, Daud Paneuk tak menyerah.
Ia mengerti strategi perang gerilya. Hasan Tiro mengajaknya bergabung di AM untuk memperkuat pasukan pertama AM.

“Rusli Ahmad ini siapa?” tanya saya, membaca nama yang disebut Teungku Rasyid dalam surat.

“Abang kandung saya. Ini surat pemberian wewenang. Dia diberi wewenang menjabat salah satu panglima muda sagoe Geumpang Baru, wilayah Pidie. Surat ini bertahun 1981. Tak pernah ada yang menulis tentang Teungku Rasyid. Dia juga komandan sekuriti untuk wilayah Pidie dan menyangkut seluruh Aceh. Sekuriti dalam bahasa AM waktu itu adalah sebagai komandan BIN (Badan Intelijin Negara),” kata Fakhrul.

Sagoe adalah wilayah setingkat kecamatan.

Di kepala surat tertera tulisan “Islamic State of Aceh Sumatera”. Rupanya faksi Darul Islam cukup kuat di awal pendirian AM. Tiro sendiri orang sekuler, berpendidikan Barat dan doktor ilmu politik lulusan Universitas Columbia.

Menurut Fakhrul, surat-surat ini boleh saya baca, tapi belum boleh diperbanyak dalam bentuk fotokopian.

“Karena yang tinggal dari Komandan Rasyid di seluruh Aceh, cuma ini. Yang saya pikirkan nanti kalau saya memegang ini sama dengan Wali memegang mandat yang diberi oleh Tengku Cik Di Tiro. Suatu saat saya bisa mengoreksi kalau perjuangan ini dialihkan,” katanya, sungguh-sungguh.

Abang Fakhrul, Rusli, meninggal dalam pertempuran dengan tentara Indonesia di Temprung, Lamlo, pada 1992 dan dikuburkan di tempat itu juga.


KHALIDIN Daud telah menunggu kami di muka rumahnya. Ia mengenakan kemeja putih dan pantalon abu-abu. Di kepalanya bertengger kopiah putih. Di saku kemejanya tampak ujung bolpen. Ia masih mengajar di satu sekolah menengah atas di Sigli. “Tanggal 1 Januari 2010, saya pensiun,” katanya, suatu kali. Khalidin tak memperlihatkan rasa kesalnya, tapi beberapa kali ia berkata, “Saya kira batal acara kita, karena janjinya kan berangkat pagi.”

“Saya ada empat undangan hari ini. Tapi saya merasa yang ini lebih penting,” katanya, lagi.

Ia juga tampak kurang sehat dan batuk-batuk terus.

Begitu ia naik, mobil pun melaju ke arah Geumpang, ke rumah Geuchik Din.

“Beliau ini orang pertama yang ikut Wali Neugara. Dia orang yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan orang-orang hari ini, yang mencari kekayaan pribadi, tidak pernah melihat anak-anak yatim dan janda-janda yang jadi korban akibat konflik ini,” tutur Khalidin tentang orang yang akan kami jumpai nanti.

“Kapan terakhir Abu jumpa Geuchik Din?” tanya saya.

“Hampir tiap bulan jumpa. Dia ke rumah. Kami macam kakak-beradik. Dia orang yang berbicara tegas, tak ada pantang-pantang.”

“Apa saja yang dibicarakan kalau jumpa?”

“Tentang keluarga, pribadi. Perjuangan mau bicara apa lagi? Semua sudah tahu. Sejak MoU (Perjanjian Helsinki), (perjuangan) sudah tamat. Menikmati hasil perjuangan adalah bagi orang-orang yang mendapatkannya, yang berkeinginan untuk itu, sedangkan kita tidak.”

Geuchik Din bekerja di kebun kopi. Sebelum tsunami, ia beternak ayam dan bebek. Anak laki-lakinya hilang dalam tsunami, juga istrinya.

“Anak laki-laki Geuchik Gin satu-satunya. Dia ini sudah selamat, tapi teringat ibunya, lalu pulang lagi dia ke rumah. Di situ dia kena. Anak Geuchik Din yang perempuan tinggal di Banda Aceh. Sekarang Geuchik Din tinggal dengan istri mudanya di Geumpang. Istri muda, tapi sebenarnya tidak muda juga,” ujar Khalidin.

“Dia menikahi istri bekas stafnya yang syahid, Muhammad Alibin, janda beranak delapan.” Fakhrul menimpali ucapan Khalidin.

Khalidin kemudian bercerita tentang masa lalunya. Sebelum jadi gubernur pertama GAM, ia menjabat bendaharawan GAM. Ia pernah mengumpul uang sumbangan masyarakat hingga Rp 2 milyar di tahun 1990-an.

“Waktu itu ada bantuan pemerintah berjuta-juta untuk membangun kampung dan masyarakat memberinya untuk perjuangan. Kalau sekarang ibaratnya dana itu sebesar 10 juta, 2 juta untuk perjuangan,” katanya.

Ia berhenti jadi bendahara GAM, karena aparat mulai mengetahui sepak-terjangnya dan melakukan pengejaran. Ia sempat hijrah ke Jakarta, lalu kembali lagi ke Aceh. Di akhir masa Darurat Militer, tahun 2002 sampai 2003, ia ditahan tujuh bulan.

“ Zaman Mega, Mega Pratama. Ada toko di situ Mega Pratama.” Ia berseloroh. Mega yang ia maksud tak lain dari Megawati Soekarno, presiden Indonesia di masa itu.

Megawati membuat kami teringat pemilihan presiden di bulan April lalu. Ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden Indonesia: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati Soekarno-Prabowo Subianto.

“Menurut saya, GAM tetap (memilih) SBY . Orang masih senang sama SBY. Kemudian wakilnya, meski banyak partai tak senang, tapi pribadi wakil juga bagus. Wakilnya itu ahli ekonomi, kemudian hidup dengan sederhana dia,” kata Khalidin.

“Kalau yang dua itu kan memang sudah ada masalah dengan Aceh. Wiranto pernah membuat pernyataan tak perlu orang Aceh, yang perlu tanah Aceh, katanya. Nggak perlu orang Aceh, yang penting tanah Aceh. Begitu juga Prabowo, bermasalah dengan orang Aceh,” katanya, lagi.

Saya menanyakan pendapatnya tentang calon pemimpin dari generasi muda Aceh. Apakah ada yang terbaik dari mereka untuk memimpin Aceh masa depan?

“Siapa pun yang memimpin, Aceh tetap di bawah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Tidak ada lagi AM. Wali pernah bilang, ini yang pertama dan terakhir. Kalau tak merdeka sekarang, tak akan ada merdeka lagi. Dia sangat optimis waktu itu. Tapi yang berhak diterima orang Aceh sekarang adalah otonomi. Waktu Indonesia dijajah Belanda bahkan ada radio Rimba Raya yang berpusat di Aceh dan menyiarkan soal Indonesia dan tentang orang Aceh menyumbang pesawat pertama untuk Indonesia. Jadi tak mungkin Aceh keluar dari Indonesia. Aceh ibarat kepala bagi Indonesia. Tanpa Aceh tak ada Indonesia. Tanpa kepala, hanya badan saja,” katanya.

“Bagaimana kekuatan AM menjelang MoU?” tanya saya.

Fakhrul menjawab pertanyaan ini, “Masih eksis. Cuma yang agak terkesan berat di segi logistik. Waktu darurat sipil, bukan darurat sipil yang saya lihat. Mereka (tentara Indonesia) melakukan operasi, istilahnya dalam bahasa kami, operasi obat nyamuk. Pokoknya waktu itu yang saya lihat sempit adalah makanan. Kalau nyali nggak bergeser sedikit pun.”

“Karena tsunami?”

“Bukan. Karena memang faktor pencegahan TNI yang sudah memang puluhan ribu pasukannya. Tapi waktu itu, kedua-duanya sudah stress, TNI maupun GAM. Seandainya memang ada perang sekitar lima tahun lagi. Pemerintah juga akan jatuh kapal. GAM juga terpaksa mengganti anak pelurunya dengan buah jambu,” ujar Fakhrul, terbahak-bahak.

Mobil mendadak penuh tawa.


HUTAN tampak di kanan kiri jalan. Hujan deras. Mobil terus melaju. Tiba-tiba Fakhrul berkata sambil menunjuk ke hutan di kanan kami. “Saya pernah ditembak di sini. Markas kami di atas sana. Kami punya anak buah waktu itu sekitar 700 orang. 300 perempuan, 400 laki-laki. Saya pernah tinggal di sini enam bulan, sebagai asisten pelatih. Nama hutan ini, Keumala Dalam,” katanya.

“ Tahun berapa kontak senjata di sini?” tanya saya.

“Sebelum jeda,” katanya.

Istilah “jeda” merujuk pada jeda kemanusiaan, gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan GAM pada 2000. Namun, tak lama setelah itu perang pecah lagi.

Di daerah Tangse, Fakhrul menunjuk ke hutan di kanan-kiri jalan.

“Itu semua tanah Zakaria Saman,” katanya.

Zakaria Saman adalah menteri pertahanan GAM.

“Kami sama-sama turun (gunung) setelah MoU. Kami tak punya apa-apa, tapi dia punya kebun seluas-luasnya,” katanya, lagi.

“Dia lah yang memecat kakak saya dari komisi pemantauan COHA,” tukas Fahmi.

COHA atau The Cessation of Hostilities Agreement (Perjanjian Penghentian Permusuhan) ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM pada 9 Desember 2002. Hal itu dilakukan agar kedua pihak dapat berunding. Namun, di saat bersamaan Megawati Soekarno justru meminta militer bersiaga untuk mencegah Aceh merdeka. Kekerasan tetap terjadi. Kesepakatan damai tak tercapai. Perang pun pecah lagi.

Fakhrul ternyata mengetahui peristiwa itu.

“Kak Cut waktu itu dipecat bersama dengan Tengku Zulfan, karena Tengku Zulfan menceritakan pada saya, karena saya satu pasukan dengan dia waktu itu,” katanya.

“Setelah dipecat, Tengku Zulfan ditembak oleh aparat, kakak saya dipenjara selama 14 tahun. Jadi kakak saya orang RI bukan, orang GAM juga bukan. Atau dia orang GAM yang tidak diakui GAM dan dituduh RI, sementara RI menganggap dia GAM,” kisah Fahmi.

Apa alasan Zakaria memecat Cut Nur?

“Kak Cut kan luwes. Kalau ada TNI bilang assamualaikum Kak Cut, Kak Cut jawab wa’alaikum salam, Kak Cut bersalam, jabat tangan. Zakaria bilang, jangan jabat tangan. Misalnya, suatu hari seorang Makarim minta api rokok pada orang kita, perunding dari GAM, padahal rokok belum dimatikan, tapi begitu diminta rokok langsung dimatikan. Jadi Makarim tangannya begini minta api rokok, orang GAM langsung matikan (rokok). Jadi kak Cut bilang, kalau begitu cara perjuangan, nggak akan ada guna perundingan. Api rokok pun kita nggak mau kasih, bagaimana kita ambil hati,” jawab Fahmi.

“Zakaria menganggap taktik Kak Cut itu salah, ditambah lagi Kak Nur menghadiri makan malam dengan Hasan Wirayuda, menteri luar negeri Indonesia waktu itu, di Jakarta. Dipecatlah sudah,” lanjutnya.

Cut Nur yang sudah dipecat GAM didatangi orang-orang dari pihak pemerintah Indonesia. Mereka menawarinya jadi gubernur transisi Aceh, menggantikan Abdullah Puteh yang dipenjarakan di Jawa karena kasus korupsi. Ia tidak bersedia. Ia juga ditawari mengurus penambangan emas di Busang, Kalimantan. Ia pun menolak tawaran itu.

“Kalau ini tak mau, itu tak mau, bagaimana kalau masuk penjara, kata RI. Kak Cut bilang, itu oke, lalu dia masuk penjara. Hahaha….” Fahmi tertawa-tawa.


JALAN yang kami lewati ini merupakan jalur pertempuran tentara Indonesia dan GAM.

“Blang Malo. Ini markas TNI (Tentara Nasional Indonesia),” kata Khalidin, memberitahu nama daerah ini.

“Yang kejadian ranjau di daerah ini juga. Yang dipasang ranjau di bawah,” kata Fakhrul.

“Ya, daerah ini juga,” tegas Khalidin.

“Yang dipasang bambu kecil.”

Fahmi menimpali, “Orang Aceh bilang igeuh, bambu kecil.”

“TNI terjun ke sana. 80 truk jumlah mereka. Itu tahun 1999. Mereka kan diserang AM dari atas, terus mereka masuk ke sini semua. Sebulan mayat mereka diambil, seperti nggak habis-habis,” kata Fakhrul.

“Siapa panglima di sini waktu peristiwa igeuh?” tanya saya.

“Banta Hasan, tapi dia sudah meninggal dalam satu pertempuran yang kalau nggak salah, di Jeunim atau Peurelak,” jawab Fakhrul.

“ Itu cara perang tradisional Aceh, memakai senjata igeuh?” tanya saya, lagi.

“Itu jebakan. Orang ini diserang dari atas, mereka terjun ke lembah. Begitu terjun bukan ke lembah, tapi masuk ke perangkap.”

Percakapan mendadak berubah topik.

“Kalau hujan gini, ngeri kita lewat sini. Makanya orang pagi-pagi ke Geumpang. Jam segini pulang,” ujar Fakhrul.

Hari hampir pukul tiga sore.

Saya mulai khawatir, “Bagaimana kalau jalan longsor?”

“Kita pulang lewat Medan, lewat Meulaboh,” sahut Khalidin.

Mobil terus melaju. Khalidin bercerita tentang mobil yang jatuh ke jurang dan banyak penumpang meninggal dunia. Di kiri kami, jurang dalam menganga.

Saya melihat dataran hijau terhampar, sejuk, sesaat menyela rupa jurang itu. Fahmi tiba-tiba berkata bahwa tempat itu adalah perkampungan jin terbesar se-Asia Tenggara. Ketika kami tertawa mendengar pernyataannya, ia mencoba menyakinkan kami bahwa raja jin di kampung itu telah memperistri perempuan desa di Pidie.

Fakhrul bercerita tentang seorang kenalannya yang bertapa di puncak Halimun, basis gerilya angkatan pertama AM. “Pulang-pulang dia bongkok. Rupanya jin-jin pari (peri) itu menumpang di pundaknya,” katanya. Muthada, jurukamera dari Komunitas Tikar Pandan, kadang-kadang merekam pembicaraan kami, dan kadang-kadang ia membuka jendela untuk merekam pemandangan di luar sana.


HUJAN deras tak kunjung berhenti. Mobil berhenti di muka sebuah rumah di kawasan Geumpang, diparkir di situ. Kami harus berjalan kaki ke rumah Geuchik Din.

Di seberang jalan, di samping rumah warga, ada jalan setapak. Di ujung jalan itu terbentang sebuah jembatan, yang membuat saya agak waswas menaksir kekuatannya.

Jembatan gantung ini terbuat dari tali dan kayu yang berayun-ayun saat orang maupun sapi-sapi melangkah di atasnya. Saya menjejakkan kaki di situ ketika sapi-sapi dan penggembala itu hampir sampai di seberang sana. Panjang jembatan sekitar 100 meter, dengan tinggi sekitar 40 meter. Saya tak bisa membayangkan bagaimana ia dibuat. Di bawah sana, sebatang sungai mengalir deras. Tetes-tetes hujan menghunjam permukaannya. Pandangan saya ikut memburam oleh lebat hujan.

Batu-batu yang berserak di bawah jembatan tampak begitu sayup. Udara begitu dingin. Angin kencang. Saya berhenti sebentar di sisi kiri jembatan ini, memegang erat-erat payung yang telah mengembang saat sebuah sepeda motor bergerak perlahan di sisi yang lain. Di ujung jembatan sana tak tampak satu rumah pun. Pohon-pohon dan semak menghijau, melindungi permukiman di belakangnya.

Akhirnya saya berhasil menjejakkan kaki di seberang jembatan. Jalan becek. Lubang-lubang berisi air hujan ada di mana-mana. Kaki-kaki terasa berperekat dan susah melangkah begitu menginjak lumpur. Jalan setapak di antara pohon dan semak ini akan membawa saya ke rumah Geuchik Din, orang yang disebut Khalidin sebagai pejuang angkatan pertama Aceh Merdeka.

Rumah tampak nyaris roboh. Ibarat pakaian, ia usang dan penuh tambalan. Dulu penghuninya telah mengirim 16 orang anggota Aceh Merdeka untuk berlatih perang di Libya dengan uangnya sendiri. Geuchik Din dulu kontraktor. Zakaria Saman, menteri pertahanan GAM, bahkan pernah bekerja untuknya.

Dinding-dinding rumah ini terbuat dari papan yang dicat hijau muda. Kusam dan tua. Ketika melewati ambang pintu, saya menjejak lantai rumah yang dilapisi plastik biru. Langit-langit juga berlapis plastik biru-merah. Tak ada seperangkat kursi dan meja tamu di ruang depan. Sehelai tikar rumbia usang terhampar menghadap pintu masuk. Tak berapa lama orang-orang meributkan pacet yang masuk ke rumah. Tuan rumah berkata bahwa musim hujan membuat binatang itu datang.

Ia menyambut hangat sahabatnya, Khalidin. Ia senang, tapi juga terkesan berhati-hati melihat beberapa orang yang belum dikenalnya, termasuk saya.

Fahmi pun menjelaskan maksud kedatangan kami. Ia lantas mengangguk-angguk, tersenyum, lalu menyilakan semua tamunya duduk. Setelah itu ia pergi ke ruang belakang. Tak berapa lama bergelas-gelas sirup dihidangkan untuk kami oleh anak perempuannya. Ia kembali ke ruang depan dengan mengenakan jas abu-abu yang melapisi kaos putih berkerahnya. Kain sarungnya bermotif kotak-kotak hijau-abu-abu. Kopiahnya putih bersih.

Geuchik Din lahir tahun 1932. Ia tamat Sekolah Rendah Islam atau SRI.

“Tahun ’75 bulan 11, kami dari Geumpang dipesan oleh Teungku Hasan Muhammad Di Tiro untuk datang ke Tiro. Waktu itu tanggal 30 bulan 11, kami datang ke Tiro, empat orang. Geuchik Pakeh, Pawang Rasyid, saya, Wahab Cut, sudah meninggal dia. Tanggal 4 bulan 12 tahun 1976, hari itulah diproklamirkan Aceh Merdeka di Kluk Kak, Tiro. Lebih kurang kami waktu itu 40 orang,” tuturnya.

Setelah itu ia mulai mencari orang-orang yang bersedia ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Ia pertama kali ditahan pada 1977 oleh aparat atas kegiatan politiknya itu.

“Saya ditahan satu bulan di kecamatan. Dilepas di siang Hari Raya Haji, tak dapat sembahyang hari raya,” katanya.

Pada 1979 ia ditangkap lagi, lalu dibawa ke Sigli dan dijatuhi hukuman penjara tiga bulan. Ia tak langsung dilepas, tapi dibawa ke Banda Aceh dan ditahan selama dua tahun.

“Setelah itu saya dibebaskan, pulang ke kampung. Sampai di kampung, dapat surat dari Panglima Daud Paneuk. Saya ditugaskan ke Meulaboh. Tugas saya adalah membawa seluruh bahan-bahan (selebaran) yang sudah dibuat Hasan Tiro, supaya orang Meulaboh mengikuti Aceh Merdeka,” katanya.

Geuchik Din mengadakan rapat dua malam berturut-turut di Meulaboh. Peserta yang hadir dalam keseluruhan rapat sekitar 80 orang.

“Apa yang Abu jelaskan dalam rapat itu?” tanya saya.

“Ini Tengku Hasan Tiro sudah pulang, dia ingin dirikan Aceh Merdeka kita, karena kita dari dulu, dari masih Iskandar Muda belum pernah menyerah. Jadi menyambung perjuangan Indatu (nenek moyang) kita, agar Aceh ini dapat merdeka,” jawabnya.

Ia juga berpura-pura hendak mencari tanah sawah saat masuk ke Aceh Barat. Namun, sepandai-pandainya ia berkelit aparat berhasil mengetahui tujuan sejatinya. Pada 1982, Geuchik Din ditangkap lagi. Meski berkali-kali ditangkap, ia tidak pernah jera.

Terakhir kali ia ditangkap pada 1990. Ia disiksa berat. Aparat bahkan memberi tanda silang pada BAP (Berita Acara Pemeriksaan)-nya dan berkata, “Geuchik Din, habis!” Bekas-bekas penyiksaan itu masih tampak jelas. Dua tonjolan besar di pangkal lengannya. Tulang-tulangnya remuk. Ia juga tak bisa berjalan normal lagi.

“Tapi saya tetap bekerja untuk Aceh Merdeka. Karena saya sudah sumpah. Badan saya, nyawa saya, harta saya… demi untuk Aceh Merdeka. Tidak ada lain. Tidak ada untuk damai. Tidak ada untuk menyerah,” katanya.

“Otonomi?” celetuk Khalidin.

“ Tidak ada untuk otonomi. Kalau kawan saya sudah habis, tinggal saya, tetap saya memilih merdeka. Karena saya sudah janji, janji pada Yang Maha Kuasa. Saya tak mau ikut orang tu. Tidak mau saya jumpa orang tu. Tidak pernah saya datang makan dengan orang tu. Karena orang tu menyerah, bukan damai itu. Kalau damai, tidak ada potong-potong senjata. Dijual Aceh ini pada orang Jawa. Mereka ambil kesenangan, mereka berpijak di atas darah bangsanya,” katanya.

Suaranya bergetar dan lantang.

Kami semua duduk bersila di tikar rumbia mendengar Geuchik Din bicara. Murthada merekam adegan dengan kamera. Geuchik Din berbicara dalam Bahasa Indonesia. Katanya, belum waktunya orang membuat peraturan untuk menggunakan Bahasa Aceh, kecuali saat Aceh sudah merdeka.

Ia juga tak mau disebut suku Aceh.

“Saya adalah bangsa Aceh, bukan suku Aceh, seperti bangsa Jawa, bangsa Dayak di Kalimantan… Semua itu, di pulau-pulau itu bangsa, tapi Indonesia mengecilkannya menjadi suku,” katanya.


*) Tulisan ini merupakan cuplikan perjalanan pembuatan film tentang sejarah gerakan Aceh Merdeka.

SRI : MODAL BERTANYA BURU KORUPTOR


PAK WALI

TEPAT di batas akhir pelaporan SPT tahunan pribadi, 31 Maret 2010, Gayus Tambunan pegawai pajak 'dijemput' oleh petinggi Polri dan di bawa pulang ke Indonesia.

Laporan langsung media televisi yang mengikuti proses pencarian Gayus di Singapura menyebutkan ada beberapa tim yang telah mendeteksi keberadaan sosok muda di bagian keberatan pembayaran pajak.

Komjen Ito Sumardi, Deny Indrayana (Sekretaris Satgas Anti Mafia Hukum) dikabarkan bertemu langsung dengan Gayus meski ada keterangan berbeda seperti di tulis Vivanews (31/3)

Markas Besar Polri menegaskan, dengan buronan Gayus Halomoan Tambunan dilakukan setelah berkordinasi dengan Kepolisian Singapura. Menurut Edward Aritonang, koordinasi itu dilakukan karena Gayus berada di Singapura. Dimana polri tidak memiliki perjanjian ekstradisi Kepolisian Singapura.

Setelah berkordinasi dengan polisi Singapura, Polri pun segera melakukan upaya untuk bertemu dengan Gayus. "Kemudian melakukan upaya untuk bisa bertemu, melakukan pendekatan himbauan kepada beliau agar bersedia untuk kembali," kata dia.

Denny Indrayana memberikan keterangan berbeda terkait pertemuan dengan Gayus Tambunan ini. Sebelumnya Denny mengatakan pertemuan dengan Gayus itu terjadi secara tidak sengaja.

Pertemuan dengan Gayus, kata Denny, terjadi di sebuah rumah makan ketika akan makan malam. Tim Satgas rencananya akan makan malam di Asian Food Mall, Lucky Plaza, Orchard Road.

"Secara kebetulan bertemu dengan Gayus Tambunan. Pria itu kebetulan juga sedang membeli makan malam. Tim Satgas langsung menghubungi Kabareskrim melalui telepon untuk memberitahukan keberadaan dan pertemuan dengan Gayus," kata Denny dalam surat elektronik yang dikirimnya.

Meski ada perbedaan, yang pasti Polri berhasil membujuk Gayus untuk kembali ke Indonesia. Gayus dan keluarganya menginap di Hotel Mandarin Orchard Road Singapura. Selain Gayus, polisi juga mengamankan istri Gayus, Milana Anggraeini dan tiga anaknya.

*******

Jadi ingat 'janji' aparat penegak hukum soal koruptor yang banyak bersembunyi di Singapura. Rasanya masih tepat jadi modal bertanya memburu koruptor. Wajar jika kemudian muncul pertanyaan kalau Gayus bisa, mengapa yang lain tak diajak balik sekalian untuk diproses kasusnya.

Berikut ini beberapa nama yang masih jadi pekerjaan rumah aparat. Soal jumlah duitnya, tentu lebih besar dari nilai yang dikorupsi Gayus.

Selasa, 08/05/2007 12:24 WIB
Hendarman: Ada 15 Koruptor di Singapura
Rafiqa Qurrata A - detikNews

Jakarta - Jaksa Agung baru Hendarman Supandji menyebutkan ada 15 koruptor yang saat ini bersembunyi di Singapura. Dia berjanji akan memulangkan para koruptor itu berikut dengan asetnya sebagai implementasi dari perjanjian ekstradisi dengan Singapura. "Ada 15 orang. Mereka siap kita ekstradisi," kata Hendarman di Kejaksaan Agung, Jalan Hasanuddin, Jakarta, Selasa (8/5/2007).

Namun sayangnya Hendarman tak mau menyebut siapa nama-nama koruptor yang akan dipulangkan ke Indonesia itu. Hingga sekarang, sebenarnya tidak ada data pasti berapa koruptor Indonesia yang bersembunyi di Singapura. Namun, pada akhir 2005 lalu, Jaksa Agung lama Abdul Rahman Saleh pernah menyatakan ada 12 koruptor Indonesia yang bersembunyi di Singapura.

Jika Arman -- sebutan Abdul Rahman Saleh -- menyebut ada 12 koruptor, ICW malah menyebut ada 17 buron koruptor yang diduga berada di negeri Singa itu. 17 Buron koruptor yang diduga masih berada di Singapura berdasarkan data ICW adalah:

1. Sjamsul Nursalim, kasus BDNI, kerugian negara Rp 6,9 triliun dan US$ 96,7 juta.
2. Bambang Sutrisno, kasus Bank Surya, kerugian negara Rp 1,5 triliun.
3. Adrian Kiki Irawan, kasus Bank Surya, kerugian negara Rp 1,5 triliun.
4. David Nusa Wijaya, kasus Bank Sertivia, kerugian negara Rp 1,26 triliun.
5. Samadikun Hartono, kasus Bank Modern, kerugian negara Rp 169 miliar.
6. Agus Anwar, kasus Bank Pelita, kerugian negara Rp 1,9 triliun.
7. Irawan Salim, kasus Bank Global, kerugian negara US$ 500 ribu.
8. Sudjiono Timan, kasus BPUI, kerugian negara US$ 126 juta.
9-13. Mantan Direktur dan Komisaris PT MBG , yaitu SH, HH, TS, GS, dan TWJ dalam kasus BPPN, kerugian negara Rp 60 miliar.
14. Hartono Tjahjadjaja, kasus BRI Senen, kerugian negara Rp 180 miliar.
15. Nader Taher, kasus Bank Mandiri, kerugian negara Rp 24,8 miliar.
16. Maria Pauline Lumowa, kasus BNI, kerugian negara Rp 1,9 triliun.
17. Atang Latief, kasus Bank Bira, kerugian negara Rp 155 miliar.

[Catatan Pak Wali]

SRI : TENTANG ROKOK


PUTHUT EA

Tulisan saya tentang ‘Mitos Tentang Bahaya Merokok’ adalah tulisan yang paling banyak mendapatkan tanggapan dari teman-teman saya lewat inboks fesbuk saya (bukan lewat tanggapan langsung di bawah tulisan tersebut atawa terbuka). Ada yang mengucapkan terimakasih, ada yang ingin menyebarluaskan tulisan tersebut dan banyak yang secara pribadi mempertanyakan lebih dalam pandangan saya tentang isu tersebut. Tulisan ini adalah untuk kawan-kawan saya yang melayangkan pertanyaan di tipe ketiga. Saya jawab di dalam satu tulisan, sebab tidak mungkin menjawab satu per satu dengan detil. Kepada mereka semua, saya ucapkan terimakasih.

Inti dari berbagai pertanyaan tersebut: Mengapa saya berani menyatakan bahwa bahaya merokok itu mitos? Bukankah itu benar adanya?

Begini, saya seorang perokok, dan itu saya nyatakan secara terbuka lewat situsweb saya www.puthutea.com, yang telah saya buat kurang-lebih 2 tahun lalu. Tetapi di sana, saya juga menyatakan bahwa saya sangat menghormati orang yang tidak merokok. Penghormatan itu konkret saya lakukan, jika berada di tempat umum, saya hanya merokok di area yang bertuliskan: area bebas merokok. Jika saya bertemu dengan orang-orang baru, pasti saya tanya apakah ia atau mereka merokok, dan jika tidak, apakah saya boleh merokok? Tetapi saya lebih sering jika berhadapan dengan orang-orang yang baru saya kenal (saya belum tahu apakah mereka keberatan atau tidak jika saya merokok), saya memilih merokok dengan cara menjauh dari mereka.

Tetapi saya juga memiliki keprihatinan mengenai larangan merokok. Berikut fakta-fakta yang mengganggu pikiran saya tentang hal tersebut.

Pertama, saya tahu persis bahwa merokok mengganggu kesehatan. Tetapi larangan tentang bahaya merokok sudah tidak sehat dan kritis lagi. Mengapa? Saya tahu bahwa ada berbagai hal yang bisa mengganggu kesehatan manusia: pola pikir, mental, gaya hidup, pola makan dll. Tetapi kenapa hanya di bungkus rokok saja yang diberi peringatan tentang bahaya merokok? Mengapa di bungkus makanan yang mengandung MSG dan lapisan lilin seperti pada mi instan tidak diberi peringatan seperti itu? mengapa di produk-produk seperti tempe dan tahu yang seakan-akan sehat padahal kedelainya merupakan kedelai transgenik tidak diberi peringatan serupa? Mengapa di produksi minyak goreng, bahkan yang ada adalah promosi tentang kesehatan jika menggunakan produk itu? padahal di salah satu produk rokok yang mempromosikan diri lewat cara seperti itu, sudah sejak lama dihilangkan: ingatkah Anda bahwa dulu ada produk rokok yang bertuliskan ‘baik untuk menghilangkan batuk’? Dan mengapa pula tidak ada peringatan soal bahaya mengkonsumsi ikan dari peraitan tertentu di Indonesia yang jelas-jelas lewat penelitian ditemukan kadar merkuri yang sangat membahayakan? Mengapa?

Kedua, kalau rokok dianggap sebagai polutan, mengapa tidak upaya yang serius untuk mengurangi jumlah mobil atau motor yang jelas-jelas memberi kontribusi bahan polutan sangat besar? Atau setidaknya, mengapa tidak ada peringatan serupa seperti yang ada di bungkus rokok, misalnya ditaruh di bagian belakang mobil atau di tempat-tempat pengisian bahan bakar? Mengapa beberapa kota di Indonesia melakukan gembar-gembor akan menjadi ‘kota bebas rokok’ tetapi tidak berani mengatakan ‘kota bebas mobil dan pabrik’?

Ketiga, ini yang saya sangat prihatin, seorang perokok dianggap lebih buruk dari seorang kriminal bahkan koruptor. Beberapa teman saya yang bekerja di Jakarta, ‘ditangkap’ oleh satpam gara-gara merokok di tangga-tangga darurat. Apakah teman-teman saya salah? Mungkin. Tetapi persoalannya, di gedung-gedung tempat mereka bekerja sudah tidak ada lagi disediakan area untuk merokok. Saya kenal betul kawan-kawan saya itu, istilah yang gampang Anda pahami ‘uang halal pun tidak mereka terima apalagi uang haram’, tetapi kenapa mereka diperlakukan seperti itu? Mereka diperlakukan seperti maling dan pengidap sampar.

Keempat, bahaya merokok sudah seperti rezim kesehatan yang sangat otoriter. Baru-baru ini, beberapa teman saya juga berkisah, mereka sakit. Ketika mereka datang ke dokter, sebelum diperiksa, sudah ditanya: apakah Anda merokok? Kenapa tidak ditanya: apakah Anda mengkonsumsi mi instan? Atau mengapa tidak langsung diberitahu: kita emmang tinggal di kota yang tidak sehat dengan kadar polutan dan tingkat stress yang sangat tinggi… Mengapa?

Kelima, sekarang ini mulai menjamur, ketika Anda melamar kerja di perusahaan atau lembaga tertentu, Anda akan ditanya: apakah Anda merokok? Kalau Anda jawab ya, maka bersiaplah untuk tidak diterima. Jadi, Anda harus memilih menjadi seorang pembohong atau berhenti merokok. Pangkal soalnya kemudian: apakah seorang perokok secara otomatis kalah kualitas dengan orang yang tidak merokok? Atau sebodoh itukah Anda sehingga akan mempertaruhkan reputasi Anda untuk merokok di tempat kerja dan akan mengganggu rekan-rekan Anda?

Keenam, kadang-kadang orang-orang yang melarang merokok itu sampai pada kadar yang sangat naif. Bukankah mereka bisa belajar atau setidaknya sudah tersedia begitu banyak buku tentang ekonomi-politik neoliberal? Dan salah satu produk yang diancam adalah industri kretek, sebagai industri nasional yang menjadi tumpuan hajat hidup orang banyak. Indonesia tidak mempunyai banyak produk ungulan dan industri nasional, yang dari hulu sampai hilir, prosentase produksinya sangat besar. Selain rokok kretek (bukan rokok putih) adalah pabrik jamu. Kalau Anda biarkan para agen neoliberal menghajar Anda dengan kampanye serampangan yang tampak logis itu, percayalah kepada saya: sebentar lagi pabrik jamu pun akan dihajar, dengan parameter-parameter kesehatan yang didatangkan dari luar. Jamu, kelak akan diangap tidak sehat, agar obat-batan mereka bisa menggantikan jamu. Kalau tidak berhasil, serangan akan diteruskan, lalu modal asing akan mengakuisisi modal dalam negeri. Lihatlah baik-baik contoh di persoalan rokok dari mulai tahun 1999 ketika mereka gagal melarang rokok kretek di Indonesia. Apa yang mereka lakukan? Akuisisi!

Ketujuh, soal haram. Saya sebetulnya tidak mau ambil suara di persoalan ini, agak kekanak-kanakan menurut saya. Tetapi begini saja gampangnya, apakah soal ‘haram’ itu persoalan yang dangkal dan gampang? Contoh, apakah minum air putih itu haram? Jawabannya, hakulyakin tentu tidak. Tetapi apakah jika Anda meminum airputih yang diproduksi oleh sebuah pabrik dan air itu diambil dari sumber air penduduk lalu para penduduk itu kemudian tidak bisa lagi mengakses sumber air yang sejak dulu ada, kemudian tetap halal? Coba pikir baik-baik… Saya tidak belajar banyak ilmu agama, tetapi saya tidak mau terjerumus dalam sikap bodoh untuk gampang mengharamkan sesuatu.

Kedelapan, saya mungkin juga sebagian dari Anda, sering sekali menggunakan standar ganda di dalam beretika, kalau itu menguntungkan kita, maka kita tidak akan mengungkit-ungkit persoalan itu. Beberapa tahun lalu, ada seseorang yang bertanya kepada saya: Mas, apakah membuat buku itu harus berguna bagi orang (baca: tanggungjawab sosial), apakah kegembiraan pribadi orang itu (baca: penulis) tidak boleh? Saya bingung menjawabnya, saya hanya bisa menjawab: Tahukah Anda kalau setiap kali seorang penulis menerbitkan buku ada sekian banyak pohon yang ditebang? Tentu, saya tidak berani mengtakan bahwa buku-buku saya berguna, tetapi saya percaya harus ada landasan etis mengapa seseorang bekerja dan berkarya.

Kesembilan, ada ambiguitas yang akut di dalam gerakan masyarakat madani di Indonesia. Sederhananya begini, kalau Anda mendapatkan uang dari lembaga donor asing, itu dianggap ‘bersih’. Sedangkan kalau Anda mendapatkan dana dari pemerintah atau dari industri dalam negeri, dianggap ‘kotor’. Silakan pikir baik-baik ‘kegilaaan’ cara pandang seperti itu…

Kesepuluh, prinsip utama dalam gerakan sosial apapun itu adalah memanusiakan manusia. Di tahap inilah kita butuh kemerdekaan berpikir dan bertindak, sekaligus keberanian untuk melakukan sikap toleran terhadap pihak yang berbeda. Kalau ‘memanusiakan manusia’ ibarat buah, maka sikap kritis merupakan akarnya. Membangun siap kritis adalah agenda penting di dalam gerakan sosial, dari mulai mengkritisi diri sendiri maupun kampanye-kampanye yang berseliweran di sekitar kita, berikut agenda-agenda di belakang itu semua.

Kesebelas, berkaitan dengan sikap kritis dan soal rokok, perhatikan baik-baik: 1) dari mana parameter-parameter kesehatan yang diberikan? Mengapa kita tidak bisa dan tidak boleh mendefinisikan kesehatan menurut parameter-parameter kita sendiri? 2) dana dari mana untuk kampanye anti-rokok? Benarkah hanya melulu persoalan kesehatan? 3) sejauh mana Anda gampang digiring dan diombang-ambingkan berbagai isu tanpa bisa bersikap kritis? Coba lakukan ini, carilah di mesin pencari tentang ‘bahaya minum kopi/kafein, Anda akan mendapatkan banyak sekali artikel soal itu. Lalu cobalah untuk mencari tema ‘keuntungan minum kopi/kafein’, Anda akan banyak mendapati artikel yang menguatkan itu. Coba lakukan hal yang sama pada teh….

Saya sebetulnya ingin membuat sampai 20 poin, tetapi karena saya suka sepakbola, poin-poin penjelasan saya cukup sampai sebelas saja. Untuk menutup tulisan ini, saya paparkan jawaban mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah, saat ditanya wartawan soal fatwa haram merokok. Ia menjawab, pertama, kalau mau membuat keputusan tidak perlu karena adanya tekanan dari pihak luar negeri. Kedua, setiap keputusan harus mempertimbangkan hajat hidup rakyat banyak. Ketiga, harus diingat, bahwa kretek merupakan pusaka Nusantara.

Merokok memang mengganggu kesehatan Anda, tetapi otak yang gampang disetir akan mengganggu kesehatan Anda dan Bangsa Indonesia. Sadarlah!

[cATATAN SAHABAT PUTHUT EA-PEROKOK AKTIF OKE/PASIF YESS]

SRI : GUS DUR STILL PRESIDEN


By KARIM RASLAN


Cutting a larger-than-life figure – humorous, witty, self-effacing and insightful – the late Gus Dur could never be boring, whether in a room with some friends or among a crowd of thousands.

ON THURSDAY last week the family of the late Indonesian cleric and statesman Abdurrahman Wahid (also known as Gus Dur) commemorated the 100th day of his passing at his hometown and resting place just outside the Javanese town of Jombang (also known as the City of Santri or Islamic scholars). According to news reports, thousands of mourners were in attendance, cramming the lanes surrounding the religious school (or pesantren) in Tebuireng set up by his grandfather, Hasyim Asyari, who later established the Nahdatul Ullama (NU) group in 1926 – now 40-million strong.

In life, Gus Dur was a peripatetic figure; constantly on the move. In fact, just weeks before his passing, he insisted on making a road-trip from Semarang to Jombang – a journey that takes five hours. His first stop was at Rembang, where a fellow Kiyai and long-time friend from his Al-Azhar days, Mustofa Bisri (or Gus Mus), presided over his own sizeable pesantren. Ploughing on despite being on dialysis at the time – and very weak – the ailing cleric headed off across the north Java plains. As his daughter Yenny, who has assumed his political mantle, explains, “My father knew every road and every railway line on Java. He’d been everywhere.“ He could describe to you exactly the next town, the next station and even which warung (stall) had the best food.” One could almost say that Gus Dur was saying goodbye to the people and places he loved.

Indeed, Gus Dur drew his immense energy from ordinary people – the wong cilik. Egalitarian and plural to the last, he fed off their enthusiasm, inspiring them in turn. Life for him was an endless flow of meetings, literally from dawn to dusk. He only needed four hours of sleep. Indeed, he was always on the go. Even when wheelchair-bound, Gus Dur was in perpetual motion – travelling, giving talks or calling on his fellow Kiyai’s in pesantrens all over Indonesia. When he did stop, Gus Dur cut a larger than life figure. Humorous, witty, self-effacing and insightful. His was a rare gift, of being able to both entertain and edify at the same time. Gus Dur could never be boring, whether in a room with some friends or among a crowd of thousands. The wong cilik, cut-off from the disdainful Jakarta elite, remember him best from these jaunts, rather than for his at times erratic and inconsistent behaviour.

It was with this final journey in mind that I set off last weekend, tracing his steps from Jogja to Jombang, where I hoped to visit his grave. I found myself traversing a landscape I’ve come to enjoy, even adore, though I will never understand Java like he did. Still, I drove through the rich, fertile plains surrounding Solo and Sragen. I eventually crossed the iconic Begawan Solo, skirting the mighty Gunung Lawu volcano, before veering off to Nganjuk, Caburan and Mojokerto. I passed endless expanses of freshly-harvested rice-stalks. Mature teak and fields of sugar cane were interspersed by densely packed villages. This was definitely Gus Dur country.

I finally reached Jombang after six hours. It had been seven years since my first visit. Back then, I came to write about its pesantren and thousands of students in the aftermath of the 2002 Bali bombings. Jombang had changed. It was noisier and more prosperous. The shops were refurbished and government buildings repainted. Tebuireng had also undergone a transformation.The small village where the pesantren was located was crowded with hundreds of visitors drawn by Gus Dur’s death. Indeed, in the stalls that crammed the lane, amid the refreshments, T-shirts and trinkets, were books extolling Gus Dur’s trademark humour.

Shuffling along, I joined the crowd heading to the cemetery. Stopping by the grave, I squatted quietly and read the Yassin prayer from the Koran. My Arabic is horrible and I’m sure people must have been wondering who this large, ungainly foreigner was. Nonetheless, I persevered because I wanted to pay my respects to a man I’d followed and listened to on many occasions. He didn’t know me but I knew him.

Later, as I was taking notes I struck up a conversation with a group of visitors – pilgrims really – from Bondowoso, some four hours to the East. I asked them why they had come so far. Mardianto, a forty-year-old journalist answered, “Gus Dur was a great teacher. He never discriminated between the rich or the poor. He defended the weak and lived with us. He was one of us.” Watching the hundreds of mourners trooping by and having seen the countless buses parked outside, I realised that Gus Dur – despite his short and tumultuous presidency, may well have been one of the most influential leaders the republic has ever seen. With his robust and easy-going manner, Gus Dur had touched people. They all felt they knew him, and vice-versa. He was both the former head of the Nahdatul Ullama as well as Semar, the wise-cracking joker-clown from the Wayang. In this, Gus Dur embodied the contradictions, or rather the stunning diversity of Java and Indonesia as a whole.

He saw the country in a way few could and, more importantly, the need for its citizens to feel at home regardless of their backgrounds. Unheralded and unappreciated by his people, Gus Dur shepherded the republic through its hour of need. His calm, unflappable countenance steadied Indonesia during the uncertain years of Reformasi. Plural and secular-minded, he stood like a bulwark against religious extremism and violence in a period of great tragedy and turmoil. As I set off from Jombang later, a thought that had been playing in my mind these last three months came back to me yet again. I wondered how different my own country, Malaysia, might have turned out if only Gus Dur had been born here.

[Catatan Alissa Wahid]

SRI : BERSIH-BERSIH MAFIA HUKUM


Membersihkan Mafia Hukum
Denny Indrayana

Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum

“Bersihkan Seluruhnya”. Demikian instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sesaat sebelum berangkat ke Hanoi, Vietnam. Intinya, Presiden memerintahkan agar dilakukan pembersihan menyeluruh praktik mafia hukum, tak hanya di Direktorat Jenderal Pajak, tetapi juga di seluruh instansi pemerintah lainnya.

Berangkat dari instruksi yang sangat terang itulah, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) terus bergerak, tanpa henti, berikhtiar membongkar praktik-praktik mafia hukum dimanapun. Namun, dalam rentang waktu kerja yang tersisa kurang dari 1 tahun 9 bulan lagi, Satgas harus hati-hati memilih prioritas dan fokus kerjanya, sambil menyadari batas-batas kewenangannya. Untuk itu, dalam upaya mendorong penindakan sindikat mafia, Satgas akan melakukan “tebang-matang” kasus-kasus yang terus bermunculan.

Menebang Matang 9 Mafia Hukum

Kasus yang ditebang-matang adalah kasus yang mempunyai bukti-bukti awal yang kokoh. Tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Tidak hanya kasus baru, tetapi juga kasus lama, misalnya BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Tebang-matang atas kasus wajib dilakukan. Karena, dengan waktu kerja tersisa sekitar 630 hari, hingga Jumat (9 April 2010), Satgas telah menerima 567 pengaduan, dan akan terus bertambah. Dari jumlah pengaduan tersebut, tiga jenis kasus yang paling banyak adalah: sengketa tanah 117, korupsi 70 dan penipuan 29. Sedangkan tiga instansi yang paling banyak diadukan adalah: MA dan pengadilan dibawahnya 175, Kepolisian 144 dan Kejaksaan 86. Dengan beban kerja demikian, fokus pada kasus yang tebang-matang, adalah strategi kebijakan yang harus dilakukan untuk menangani pengaduan masyarakat.

Yang harus ditegaskan, fokus tebang-matang tidak hanya berdasarkan nilai nominal rupiah yang besar. Namun juga yang menyakiti rasa keadilan masyarakat, meskipun nilainya relatif kecil. Misalnya, yang menimpa keluarga Kadana di Indramayu. Dalam menjalani kasus pembunuhan yang didakwakan kepadanya, keluarga petani ini harus mengeluarkan dana hingga 14,3 juta rupiah. Jumlah yang mungkin kecil bagi keluarga mampu, tetapi tentu angka yang sangat besar bagi Kadana sekeluarga. Untuk menyediakan uang sebesar itu, mereka harus menjual tanah pekarangannya, dan hingga sekarang, selama 9 bulan harus tinggal di bekas kandang kambing. Kandang seluas 2,5 x 1,5 meter itu harus disulap menjadi tempat berteduh bagi Darmini – istri Kadana – dan keenam anaknya yang masih kecil, tertua masih SMP, dan yang bungsu berumur 1,5 tahun. Lebih ironis lagi, pernah untuk mengantar uang hanya 300 ribu kepada oknum polisi yang menipunya, Chasnawi – kakak Kadana – harus menaiki becak sejauh 10 kilometer. Tentu saja praktik mafioso demikian sudah terlalu jauh di luar batas toleransi. Satgas pun segera menurunkan timnya ke Indramayu dan berhasil memastikan oknum polisi ditahan dan menjalani proses hukum yang sepadan.

Presiden mengarahkan agar Satgas fokus kepada pengungkapan mafia hukum yang besar (big fish). Menurut saya, kategori big fish ada pada sembilan wilayah – tanpa mengecilkan mafia hukum di bidang yang lainnya – yaitu: mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai, mafia pertambangan dan energi, mafia kehutanan, mafia narkoba, mafia pertanahan, mafia perbankan dan pasar modal serta mafia perikanan. Mafia peradilan tetap menjadi prioritas utama dan pertama yang harus dilakukan. Karena, hanya dengan penegakan hukum yang bersih dari praktik mafia, maka penghukuman yang tegas dan menjerakan pada mafioso di sektor yang lain dapat dilakukan.

Tentu saja, upaya pembersihan sembilan wilayah mafia hukum tersebut tidak akan mungkin dilakukan oleh Satgas sendirian. Kami memahami batas kewenangan, limitasi waktu kerja dan beratnya medan perjuangan. Maka, selain dukungan penuh dari Presiden yang telah dikantongi Satgas, dukungan dari masyarakat adalah prasyarat yang harus hadir. Dalam konteks itu, peliputan berita oleh media massa adalah cara Satgas berkomunikasi dan mengharapkan dukungan positif dari masyarakat luas.

Pisau Bedah Three in One

Jika mafia hukum diibaratkan sebagai kanker ganas dalam sistem hukum kita, maka pisau bedah operasinya, agar sel-sel kanker dapat dibersihkan semua, harus sangat tajam dan efektif. Telah banyak ide dan konsep yang ditawarkan. Di antara banyak teori itu, saya berpendapat audit kekayaan pejabat negara adalah pisau bedah yang lebih efektif untuk diterapkan. Di dalam pisau bedah audit kekayaan terdapat tiga elemen yang menyatu (three in one): analisis LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) – termasuk analisis transaksi mencurigakan; analisis gaya hidup (life style); dan penguatan konsep pembuktian terbalik.

Jikalaupun LHKPN tidak dilaporkan dengan benar, namun gaya hidup pelaku mafioso pasti tidak akan berdusta. Pelaku pasti akan berusaha menikmati hasil praktik mafia hukumnya dengan membeli rumah, tanah, mobil atau aset lainnya. Maka, dengan pisau bedah pembuktian terbalik, gaya hidup demikian harus dikroscek dengan pendapatan resmi yang seharusnya diterima. Dengan kroscek demikain, seharusnya tidak sulit untuk melihat ada kejanggalan yang mengarah pada indikasi kejahatan mafioso. RUU Tindak Pidana Korupsi yang baru merumuskan untuk kekayaan yang tidak dapat dibuktikan keabsahan perolehannya, dapat langsung disita oleh negara.

Akhirnya, Presiden telah jelas memberikan instruksi. Praktik mafia hukum harus dibersihkan semuanya. Jika masih ada yang mencoba-coba melawan, maka ia akan berhadapan dengan gelombang tsunami yang tak terkalahkan. Tugas sejarah demikian tentu tidak mudah, tapi kita tidak boleh menyerah. Untuk Indonesia ke depan yang harus terus makin membaik, mari kumandangkan perlawanan untuk membersihkan praktik mafia hukum, dimanapun. (*)

[Catatan Denny Indrayana]

SRI : SEORANG KSATRIA


HILANGNYA DHARMA KSYATRIYA & PINANDITA (Eps 3, OMAH JOGLO, KI AGENG GIRING, 24 April 2010)
Bagikan
24 April 2010 jam 7:44
"Klabang iku wisane ana ing sirah, kalajengking iku wisane mung ana pucuk buntut. Yen ula mung dumunung ana ula kang duwe wisa. Nanging yen manungsa wisane dumunung anan ing sekujur polahe badan lan jiwane."

Jika dalam bahasan Indonesia sebagai berikut "Racun kelabang itu ada dikepala. Racun kalajengking hanya di pucuk ekor. Racun ular hanya ada pada ular yang berbisa. Sedang manusia racunnya terletak pada seluruh perilaku badan dan jiwanya." Penggalan syair ini mengingatkan sebuah karya sastra Jawa Kuno yang di sadur oleh Yoso dipuro yang kemudian di teruskan oleh Ronggo Warsito dalam kitab Jaya Baya yang sekaligus memberikan nasehat kepada masyarakat modern saat ini.

Sekali lagi dalam penggalan syair "Sing bisa gawe mendem iku : 1) rupa endah, 2) bandha, 3) drajat, pangkat lan pikat, 4). Kamulyan lan karahayon sarta 5) Daharan sarta unjukan tanpa duga."
atau alihan bahasa berbunyi "Yang membuat mabuk hingga hilang kesadaran itu 1. Wujud keindahan dunia. 2. Harta Benda 3. Drajat, jabatan dan karir sebagai kehormatan serta harga diri sebuah jati diri yang di perjuangkan. 4. Perilaku Sok Suci dan Mulia yang berlebihan dalam keyakinan dan kepercayaan di dalam hati. 5. Makanan dan Minuman yang memabukan."
http://www.youtube.com/watch?v=K-MrZ5BNzVg
http://www.youtube.com/watch?v=CYLB8_2Uvbo

Ternyata yang membuat mabuk itu tidak hanya miras dan judi tetapi segala perilaku yang berlebihan atas poin - poin di atas mampu membuat mabuk kepayang. Manusia harus menjual dirinya untuk memperoleh kehormatan, jodoh dan harta benda. Disinilah sebuah nasehat di lontarkan dalam serat Jawa Kuno itu.

Namun perubahan jaman kurang mendukung. Serat Jawa yang berisi tentang pengelolaan Sumber Daya Manusia dari Teologi-Teogoni, Kosmologi-kosmogoni, mitologi-mitogoni, ouikemene, biosfer dan global kebudayaan nusantara itu ikut tergusur. Perlu sebuah eksplorasi dan konservasi budaya untuk mengingatkan kesadaran memori kolektif itu yang sekaligus akan bertajuk membangun kesadaran kolektif.

Pada kenyataannya, secara empirik Tatanan etika global hingga detik ini belum mampu menjawab persoalan etika masyarakat dunia. Apa yang di perkenalkan hanyalah perwujudan trasendental yang berwujud aturan sistem, mekanisme, struktur, dll, yang bersumber menjadi manifisto nilai - nilai moral yang sekan - akan memaksa dan justru menindas sebuah kebebasan. Sebuah etika dan moral yang hanya membangunkan etos kerja secara tehnik dan mekanik. Seakan - akan umat manusia hanya seperti di hilangkan nilai organiknya dan di pandang sebagai bangunan mesin produksi.

Episode 3 dari Omah Joglo ini, bertujuan mewacanakan sebuah kritik dan evaluasi kritis tentang perubahan jaman yang semakin tidak seimbang. Kenyataan jaman ketika di dukung oleh kesadaran kolektif pragmatis yang sama dengan tidak tahu jati dirinya dan asal ikut budaya populer dan temporer itu hanyalah bangunan belenggu. Perlu sebuah kritik dan evaluasi sebagai kebutuhan dan sebagai sumbangan bagi dunia, ketika dunia sedang mencari keseimbangannya.

Di sini kami berharap kepada khayalak umum untuk menyaksikannya. Sebuah suguhan pertunjukan hangat penuh humor, jam 21.00 WIB, sabtu ini, tanggal 24 april 2010. Jangan lewatkan, siapa tahu kaweruh yang di sampaikan berguna bagi anda - anda sekalian yang sedang krisis dan disorientasi.......Salam SEHATI dan SEJIWA......MERDEKA !!!!!!

SRI : KUCING DEDY MIZWAR


(Tadinya) Sebuah Resensi



1/
Setelah hampir setahun tidak berkunjung ke bioskop, saya akhirnya nonton lagi. Di tengah obrolan di warung kopi, sembari guyon soal keberhasilan saya menjadi penulis pesanan, tiba-tiba saja terpikir untuk membuat sedikit perayaan. Lebih-lebih ketika seorang teman mengatakan kalau ia tak tahu, hingga hari itu, bagaimana cara antri tiket bioskop. “Ya, sudah. Ayo nonton. Sekarang.” Setelah gagal berangkat malam itu juga—dikarenakan tak tahu persis jam putar film—saya dan teman yang belum pernah masuk Studio 21 itu akhirnya nonton besoknya. Yang kami tuju adalah film Dedy Mizwar terbaru, “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”.

Dari judulnya, saya tak berharap film ini akan lucu. Itu sebuah repertoar—kalau bukan malah gerutuan. Apalagi pada siang sebelum nonton film saya nonton di acara gosip Dedy Mizwar bersungut-sungut karena premier filmnya diputar di studio yang sonnya busuk. Namun komentarnya lebih pedas justru saat ia mendengar filmnya dikomentari dengan cara yang aneh oleh Menteri Sosial. Dari caranya yang sinis menanggapi tanggapan Mensos, saya tahu nanti malam saya tidak akan menonton film lucu. Ini adalah filmnya Dedy Mizwar yang marah. Lebih marah dari Dedy Mizwar yang membuat “Naga Bonar Jadi 2”. Dan (pasti!) lebih marah dari Dedy Mizwar yang pada Pemilu kemarin nekad mau mencalonkan diri menjadi wakil presiden bersama Jendral Saurip Kadi. Tapi demi memiliki alasan untuk pergi ke bioskop menonton film Indonesia, kami tetap berangkat. Sebab, jika bukan film Dedy Mizwar, bukankah lebih baik menunggu ada 3GP berisi adegan vulgar Dewi Persik atau Andi Soraya beredar?

Tapi, tanpa saya sangka, kelucuan sudah saya temukan sebelum masuk gedung bioskop. Di tiket, judul film itu terbaca sebagai “Alangkah Lucunya Dunia Ini” (tanpa kurung). Ya, benar-benar lucu dunia ini! Karena itu, dengan tidak berharap terlalu banyak akan bisa tertawa saat menonton, hal lucu sebelum masuk studio dan beberapa gelak tawa yang ditimbulkan oleh beberapa dialog dan celetukan dalam film telah mencukupi buat saya—jika yang dicari adalah “lelucon”. “Seperti habis nonton film Warkop minus bikini dan pantai; lucu tapi tak tahu mau cerita apa,” demikian simpul saya begitu bubaran. “Bukannya memang begitulah film-film Dedy Mizwar?” timpal teman saya. Namun, kami berdua sepakat, pesan yang paling jelas dari film ini adalah “daripada beternak cacing, mending beternak kucing, karena kucing adalah hewan kesayangan Nabi.” Yang sudah menonton film ini pasti setuju dengan kesimpulan ini.


2/
Saya menyukai Dedy Mizwar, sampai kapan pun, dan apa pun kata orang. ‘Kejar Daku Kau Kutangkap” saya tonton sesering saya mengaji, sementara kebanyakan koleksi VCD Indonesia lawas saya adalah film yang ada Dedy-nya. Kemunculan film-film Dedy saya tunggu seperti para fanboy konyol menunggu Lucas bikin kelanjutan “Star Wars”. Saat dibikin muak dan putus asa oleh acara televisi, sinetron-sinetron religius bikinan Demi Gisela Citra Sinema (DCGS) adalah tempat pelepas dahaga saya. Saya memang hanya lamat-lamat mengingat “Hikayat Pengembara” (sinetron religius pertama garapan Dedy), tapi saya mengikuti tuntas “Lorong Waktu” (1-6, dan putar ulangnya), “Kiamat Sudah Dekat” (serial), “Demi Masa”, dan “Para Pencari Tuhan” (1-3).

Seperti yang pernah dituturkan Dedy sendiri, ia mulai mendalami agama (Islam) setelah penggarapan Sunan Kalijaga (1985). Setelah lama tak muncul bersama runtuhnya industri perfilman Indonesia, hasil ketekunananya terhadap agama segera terlihat begitu ia muncul di jagad sinetron—sebagai aktor, kadang sutradara, tapi yang paling utama sebagai produser (dengan DCGS sebagai kendaraannya). Sinetron-sinetron pertamanya memperlihatkan bagaimana Dedy mendekati agama dengan karya-karya pada awalnya. “Hikayat Pengembara” dan “Lorong Waktu” adalah serangkaian perenungan yang bersifat esoterik, yang lebih cenderung menukik masuk ke dalam diri (Dedy) daripada ditujukan kepada orang lain (penonton). Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa banyak episode merupakan hasil pengembangan dari anekdot-anekdot sufi atau kisah-kisah profetik yang dikenal luas di kalangan Islam. Saya menduga, pada fase ini muncul karena keengganan pada Dedy untuk menggurui penonton yang, dalam hal agama, mungkin lebih alim darinya. Fase ini cukup panjang. “Lorong Waktu” bahkan bercokol di televisi dalam 6 kali bulan puasa.

Lalu, muncullah film “Kiamat Sudah Dekat” (2002?). Selain menjadi penanda kemunculan kembali Dedy Mizwar di jagad film Indonesia setelah sekian lama menghilang, film ini juga jadi fase baru bagi sinema agama ala Dedy. Digarap dengan penyutradaraan dan sinematografi ala kadarnya, KSD adalah film agama yang enteng, ringan, namun juga menyenangkan. (Saya selalu terkenang kalimat “Pliss Allah!” yang diteriakkan tokoh Fandi sejak pertama menonton film itu hingga saat menulis uraian tak jelas ini). Tapi lebih dari itu, di film ini pula Dedy, menurut saya, mulai berdakwah kepada orang lain—dalam artian, mulai menjadikan filmnya sebagai tontonan yang menuntun.

Beberapa tahun kemudian—mungkin 3 tahunan—“Kiamat Sudah Dekat” muncul dalam bentuk serial di televisi. Hampir tak beda secara sinematografi dengan filmnya, dengan segera, bagi saya, serial ini tampak jauh lebih berat—dan jelas lebih bagus—dibanding filmnya. Kalau filmnya “hanya” bicara soal belajar salat, sunat, dan mengaji (dan tetek bengek kesalehan—sebut saja—individual-skriptural), maka edisi sinetronnya merambah ke penyantunan anak yatim, hingga keadilan sosial (yang banyak disebut sebagai kesalehan sosial-kontekstual). Lepas dari semangat dakwahnya yang makin kencang, fase ini, bagi penggemar Dedy Mizwar (dan, ehm, tontonan yang baik) seperti saya, merupakan fase terbaik. Jika karya sebelumnya, “Lorong Waktu”, terlalu artifisial dan kurang original—akibat terlalu banyak anekdot sufi yang dipinjamnya, serial “Kiamat Sudah Dekat” adalah karya yang paling bagus, rapi, tapi juga lucu sekaligus haru, dalam menghubungkan agama dan keadilan sosial yang pernah ada di Indonesia. (Bravo untuk sang penulis naskah, Musfar Yasin!!)

Di antara ini, Dedy membuat “Ketika” (?)—dengan Musfar Yasin sebagai penulisnya. Sedikit unsur agamanya, namun dakwah sosial-kemanusiaannya semakin keras saja. Sedikit pembeda film ini dengan film dan sinetron-sinetronnya sebelumnya adalah munculnya visi tentang, ah sebut saja, kesalehan nasional (kesalehan yang kira-kira bersifat kebangsaan). Meski masih dalam bayangan yang amat samar, negara-bangsa muncul dalam “Ketika” sebagai hal yang perlu diperbaiki. (Dan karena itulah mengapa korupsi, ikon Indonesia yang paling populer itu, menjadi benang merah cerita). Ya, setelah mulai terusik untuk memperbaiki umat, pada fase ini, Dedy Mizwar mulai terpanggil untuk memberi sumbangsih kepada negara dan bangsanya. Hasrat yang mulia tentu saja.

Sinetron “Para Pencari Tuhan” kemudian menyusul muncul. Terlihat seperti hendak kembali ke jenis “Lorong Waktu”, PPT, yang ditulis Wahyu HS (penulis “Lorong Waktu”), ternyata adalah sintesis bagus antara perenungan-perenungan sufistik ala “Lorong Waktu”, dorongan kepada kesalehan individual ala KSD (film), dan kesalehan sosial ala KSD (sinetron). PPT tak hanya bicara tentang pencarian kebenaran oleh tiga bekas penjahat kacangan (Baron, Juki, dan Chelsea) yang mencoba sadar, tapi juga tentang orang-orang miskin dan terpinggirkan (Asrul dan Udin Hansip) yang mencari keadilan Tuhan. Namun, untuk pencinta drama, PPT juga menyediakan kisah cinta berliku antara Aya dan Azam. Tak hanya lebih rumit dari kisah cinta Si Doel dan Sarah yang legendaris itu, hubungan Aya dan Azam, di beberapa bagian, menyajikan kecerdasan dan kedalaman yang—menurut saya—jarang ada tandingannya di film Indonesia.

“Naga Bonar jadi 2” (NB2) lalu menyela. Film ini memang dimaksudkan jadi sekuel Naga Bonar-nya MT Risyaf yang legendaris itu. Tapi, sungguh, film ini hampir tak ada hubungannya dengan naskah cemerlang bikinan Asrul Sani tersebut. Prekuel dari NB2, tak lain dan tak bukan, adalah film-film dan sinetron Dedy Mizwar sebelumnya. Namun, yang paling dekat secara genealogis dengan NB2 adalah “Ketika”, yang sama-sama ditulis oleh Musfar Yasin. Bila pada “Ketika” bayangan tentang negara-bangsa yang mesti diperbaiki masih tampak samar, maka pada NB2 negara-bangsa tampil dengan lebih telanjang dan siap untuk dihajar (meski, seperti yang akan kita lihat, belum sekeras dan sevulgar yang dilakukan oleh Dedy dengan “Alangkah Lucunya”). Vero, seorang teman yang biasa menulis tentang film, menyesalkan nada mashgul dan muram dalam diri Naga Bonar yang dulunya cuek dan dekonstruktif itu. Namun, saya membela dengan mengatakan kalau Naga Bonar mulai menjadi tua dan mengeras, dan ia telah tampak capai dengan apa yang dimukainya saat ini, persis seperti Dedy Mizwar. Naga Bonar, di tangan Dedy Mizwar, adalah Dedy Mizwar itu sendiri, adalah seorang tua yang mulai geram, yang tidak saja semakin tidak bisa mengerti dengan apa yang terjadi di sekitarnya tapi juga karena merasa tidak dimengerti.

Dan, Naga Bonar yang geram inilah yang kemudian muncul di sebuah jumpa pers di tengah hiruk-pikuk Pemilu 2009. Katanya, dengan meminjam mulut dan muka Dedy Mizwar, ia mau maju sebagai calon wakil presiden bersama seorang bekas tentara yang tersingkir, Jenderal Saurip Kadi. Ibas, teman saya, seorang pembahas politik yang bersemangat sekaligus apresiator film yang buruk, cemas dengan kenyataan itu. Ia, yang masih terus mencari kebenaran itu, takut kehilangan tontonan yang disukainya, PPT jika Dedy terlalu sibuk berpolitik, apalagi jika sampai terpilih (untungnya tidak—meski, malangnya, kita cuma dapat SBY). Saya juga cemas, bahkan setelah Dedy Mizwar tak pernah bisa lebih maju dari status “berniat menjadi kandidat calon wapres”. Saya takut, Dedy Mizwar menjadi semakin radikal saja.

Kekuatiran saya segera tampak pada PPT musim terakhir, yang dibikin setelah pencalonan Dedy. Meski tetap setia dengan kesalehan ritual dan kesalehan sosial khas produk DGCS, PPT musim ketiga menjadi sangat politis. Digerakkan oleh benang cerita tentang pemilihan ketua RT, PPT musim terakhir kemarin adalah melulu parodi politik atas Pemilu 2009 (saya bahkan menemukan sosok SBY pada Pak RW, yang peragu, sok cerdas, tapi manipulatif). Tapi, ini sinetron sahur, teman. Mana ada berkah sahur yang lebih baik dari sinetron seserius itu? Jadi, bagi saya, ini sama sekali bukan masalah. Namun, diam-diam, saya semakin kuatir.

“Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” (2010) kemudian menjawab kekuatiran itu.


3/
Sementara saya sedang muak-muaknya dengan hal-hal politis, AL(NI) tidak hanya terlalu politis tapi juga terlalu vulgar sebagai film sosial-politik. Omongan dan dialog soal koruptor dari para tokohnya, baik Muluk (Reza Rahadian) dan terutama Syamsul (Asrul Dahlan), terdengar seperti muncul dari megaphone para demonstran bayaran: sumbang, dangkal, diulang-ulang, dan karena itu klise. Muka-muka yang dimunculkan di layar oleh Dedy dan dikonstruksi oleh naskah Musfar Yasin terlalu emosional dan sekaligus putus asa—dan itulah wajah keseluruhan film ini. Sudah begitu, film ini gagap sebagai sebuah cerita—dan karena itu saya seperti habis melihat film (sejenis) Warkop. Film ini seperti ular yang memakan buntutnya sendiri: tak jelas juntrungnya. Dan, ah, iklannya itu lho... (untuk soal ini, terima kasih pada sebuah catatan yang saya temukan di dinding seorang teman di facebook).

Saya tidak terkejut dengan apa yang saya temukan di bioskop. Sejak melihat NB2, dan kemudian mengikuti PPT edisi terakhir, saya sudah memperkirakan film macam begini ini pasti akan muncul juga dari tangan Dedy Mizwar. Saya hanya sedikit menyesalkannya—terutama karena saya sangat menyayangi Dedy Mizwar dan menganggap Musfar Yasin adalah orang yang membuat saya berangan-angan menjadi penulis skenario.

Meski begitu, harus saya tegaskan, saya tidak keluar dari bioskop dengan marah—karena sudah membayar untuk menonton “Democrazy” edisi layar lebar. Saya tetap keluar dengan perasaan yang sedikit lega (lega, tapi sedikit, apa hayo?). Sebab di film ini kita menjumpai Slamet Rahardjo, Dedy Mizwar, Jaja Miharja, dan Tio Pakusadewo, yang itu jelas tak bisa disamakan dengan Mucle, Isa, dkk. di “Democrazy”. Menonton Slamet Rahardjo dan Dedy Mizwar dalam satu scene adalah sebuah pengalaman terbesar untuk pencinta film Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Jaja Miharja sama menyenangkannya dengan apa yang sudah ia tunjukkan dalam “Rindu Kami Pada-Mu”. Sementara Tio Pakusadewo tetap bersinar seperti biasa—macam apa pun peran yang dimainkannya.

Saya, meski secara keseluruhan tak begitu menyukai film ini, juga tak akan keberatan bertengkar dengan orang yang mencerca film ini secara keseluruhan. Bukan saja karena tidak semua bagiannya buruk, tapi karena di beberapa bagian film ini justru sangat berhasil (baca, lucu tapi juga mengiris). Meski berkali-kali menonton film tentang tekyan, gelandangan, dari berbagai masa, dari berbagai negara, dengan berbagai jenis, (dari yang realis seperti “Salaam Bombay”, liris semisal “Daun di atas Bantal”, sampai yang dilebih-lebihkan macam “Slumdog Millionair”), lanskap sangar Jakarta di belakang gedung-gedung tingginya yang ditunjukkan oleh AL(NI) tetap saja menggetarkan saya. Saya yang dibilang oleh beberapa teman terlalu membenci Jakarta, setelah melihat gambar-gambar sadis di AL(NI), merasa selama ini terlalu lunak. Jika penonton yang datang ke bioskop ingin tertawa, asal mau tertawa dengan cara yang pahit, saya rasa juga akan mendapatkannya. Misalnya, calon anggota dewan (Edwin) yang membawa laptop 15 juta-annya ke rumah cewek idamannya ternyata hanya ingin memperlihatkan wallpaper akuariumnya. Juga saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan ditutup ucapan “amin”. Bukannya terdengar lancang, saya justru menemukan kalau kata “amin” yang “remeh” dan dilakukan dengan penuh tawa lagi sembrono oleh para pencopet kecil itu telah mengubah sebuah himne yang gagah menjadi doa ratapan yang memelas (coba nyanyikan ulang: “...Hiduplah Indonesia Raya... Amin....”). Bagi saya, itu terdengar sama memelasnya dengan saat orang Islam mengucap ayat terakhir al-Fatihah: “Lindungilah kami dari jalan orang-orang yang Kau murkai dan orang-orang sesat...”. Dan tentu saja pertentangan yang konyol lagi sarkastis antara beternak cacing dan beternak kucing.

Tapi, saya juga sama sekali tak menyesal menonton AL(NI) karena, rasa-rasanya, saya baru saja menonton kelanjutan PPT jauh lebih cepat dari seharusnya (puasa masih lama bukan?). Ya, film ini amat dekat dengan PPT edisi terakhir. Kesinisannya terhadap negara, dialog tanpa jawab antara kesalehan individual dan kesalehan sosial, juga anomali-anomali dalam agama yang selama ini dianggap tak ada, dan—tentu saja—celetukan-celetukan nakal dan kocak yang mengguncang iman sekaligus ikat pinggang, semuanya tampak akrab di mata dan kuping saya yang biasa nonton PPT. Apa yang bisa kita temukan dalam AL(NI), semisal tukang warung yang selalu mengingatkan pelanggannya yang para bajingan untuk mengucap bismilah sebelum makan, koordinator copet yang garang namun memiliki sisi kenabian, kaum tua yang keras namun menyembunyikan keraguan, kaum muda yang ingin melawan tapi dengan cara yang canggung, juga penganggur yang menggugat negara sekaligus Tuhan, hampir semuanya bisa kita temukan padanannya pada PPT. Saya tak heran saat menemukan koordinator pencopet yang garang dan dingin itu (yang dimainkan dengan nikmat oleh Tio) memajang gambar Masjidil Haram besar di ruang tamunya. Sebab, di PPT saya sudah temukan tokoh Baha (pelaut pemabuk yang dermawan sekaligus berjasa membetulkan arah kiblat masjid) dan Robin (perampok budiman yang mengkoordinir para anak buahnya sembari berzikir memohon keadilan Tuhan).

Dan PPT lebih kental lagi muncul pada AL(NI) karena sebagian pemain PPT juga ambil bagian di AL(NI). Dedy Mizwar dan Asrul Dahlan yang mengambil peran cukup besar di film ini menjadi representasi paling jelas dari nafas PPT—lebih-lebih karena karakter Syamsul (yang terdidik, menganggur, dan karena itu penuh dengan gugatan) yang dimain Asrul Dahlan serupa benar dengan karakter Asrul di PPT. Dan lengkap sudah nuansa PPT ketika di ujung cerita, Udin Ngaga atawa Udin Hansip, ikon paling populer PPT selain Asrul Penganggur, muncul sebagai petugas Satpol PP.


4/
Dunia mungkin semakin reot dan makin tidak nyaman, sehingga orang-orang yang pada dasarnya berhati baik merasa memanggul tanggup jawab untuk turut memperbaikinya. Oleh karena itu, orang-orang semakin gemar berceramah, dan dai-dai bermunculan seperti tokek sehabis hujan. Hadis populer “ballighu anni walaw aayat” (artinya: sampaikanlah walau pun—yang kamu tahu—cuma satu ayat) dipraktikkan dengan cara yang setepat-tepatnya, yang belum pernah saya temukan sebelumnya. Orang-orang berlomba-lomba bikin buku nasihat.

Entah karena mulai terbiasa dengan “nasihat satu ayat”, atau memang, bersamaan dengan semua ini, segitu itulah kapasitas sebagian dari kita kini, dunia menjadi semakin bebal saja. Tanda-tanda tak lagi bisa dipahami. Metafora tak lagi punya guna. Kata-kata bersayap tak bisa dimengerti. Sindiran terdengar seperti sapaan. Peribahasa tak lagi terpakai. Puisi disingkirkan oleh iklan paling vulgar. Dan lagu-lagu liris digusur oleh lirik-lirik mentah.

Maka, pliss..., jangan heran jika kevulgaran terjadi di mana-mana, termasuk dari orang-orang baik lagi gelisah yang selama ini setia bersembunyi di balik benteng tanda dan metafora. Dari Devon, di pelosok Manchester, Inggris, sana, Matt Bellamy, penulis lagu untuk bandnya, Muse, menjelaskan semua perubahan lirik-lirik lagu-lagunya, dari gelap-liris-skeptis di album-album awal menjadi terang-vulgar-optimis, dalam satu baris di lagunya ‘Unnatural Selection’ (“Resistance”, ‘09): “I wanna speak in a language that they’ll understand.” Kiranya, itulah yang dilakukan oleh Iwan Fals dengan lagu-lagu terakhirnya (ah, sedih rasanya membandingkan lagu-lagu dalam “Cikal” dengan lagu-lagu pada “50:50”). Juga Goenawan Mohamad, pada Caping-caping terakhirnya, terutama di seputar Pemilu 2009, yang terang-jelas (namun, menurut saya, menyesatkan) itu. Pun Taufik Ismail, yang berubah dari penyair liris yang mengiris menjadi serupa klerik yang fanatik. Dan, tentu saja, Dedy Mizwar dengan AL(NI)-nya.

Tapi, meski tidak nyaman dengan film terakhir Dedy Mizwar, bagi saya, AL(NI) adalah kucing di jagad film Indonesia yang dipenuhi cacing. Pada saat kita tak kunjung punya sapi atau kambing, maka benar belaka kata para pemain kartu kepada Muluk di film ini, “daripada beternak cacing yang halal-haramnya belum jelas, piara kucing saja, karena kucing adalah binatang kesayangan Nabi.” Tapi, sesuai peringatan MUI, karena daging kucing kurang bergizi, maka sebaiknya dilihat sajalah, jangan dimakan.

5/
Untuk Pak Dedy, cobalah beternak Unta. Sebab selain menguntungkan, kata teman saya, Ajianto, “Unta itu binatang Islam.”***

[Catatan sahabat Mahfudz Ikwan]