Minggu, 16 Mei 2010

SRI : JADI MUSLIMAH



Setiap muslimah adalah istimewa. Ia dikaruniai kesempatan menjadi kontributor bagi tersebarnya rahmat ke seluruh alam dan dijanjikan surga. Tidak ada bias gender untuk masuk surga. Yang ada adalah perbandingan ketaqwaan dan amal sholih.

Dengan kompetisi fair seperti ini, semestinya setiap muslimah menjadikan muslim dan muslimah lain sebagai “lawan tanding” dalam konteks fastabiqul khairat. Melihat muslim lain lebih baik, iri. Melihat muslimah lain lebih berprestasi, iri. Melihat muslim-muslimah lain bisa memberikan lebih banyak apa yang mereka miliki untuk menebar rahmat di bumi, iri.

Iri yang dikelola dengan baik, akan menjadi motivasi. Indahnya Islam adalah ketika justru dianjurkan untuk bekerjasama dalam kompetisi ini. Seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lain. Iri, termotivasi meniru, maka lahirlah pembelajaran. Belajar pada seorang yang sudah secara nyata menunjukkan kontribusinya, jauh lebih efektif (menurut saya) daripada sekedar belajar pada referensi tekstual. Mengapa? Karena yang empiris biasanya sudah sekaligus mensinkronkan dengan pemahaman tekstualnya.

Nah, yang menjadi pertanyaan besar adalah : Apa yang membuat iri? Apakah semua yang membuat iri selalu melahirkan motivasi? Lebih konkret lagi, apakah setiap motivasi benar-benar akan melahirkan proses pembelajaran?

Di titik ini kita akan mereview ke masa terbaik, masa generasi teladan. Inilah orang-orang yang paling membuat kita iri, paling dahsyat mengalirkan motivasi (sampai bergenerasi-generasi), paling bersih sejarahnya dan akhirnya, paling sulit untuk dicapai ukurannya. Ya, generasi Rasulullah beserta para sahabat dan sahabiyahnya. Merekalah sumber inspirasi, sumber motivasi dan sumber ilmu untuk belajar.

Sebutlah Khadijah, pebisnis paling kaya di Mekkah yang dikenal dengan sebutan At Thahirah. Sejarah Khadijah adalah kegemilangan seorang muslimah mandiri, cerdas, istri terbaik, ibu terbaik, dan ketika dakwah turun, ia menjadi kontributor dakwah nomor satu.

Fatimah binti Muhammad, sejak kecil mendampingi sang Ayah berjuang sepeninggal ibunya, hingga mendapat gelar Ummu Abiha (ibu ayahnya). Saat menjadi istri Ali bin Abi Thalib, maka ia sadar bahwa ia menikah dengan lelaki idealis yang hanya mengenal kata berjuang secara total, hampir sama seperti ayahnya.

Aisyah, cendekiawan nomor satu yang menjadi rujukan para sahabat setelah Rasul meninggal. Ia mereguk ilmu dari kehidupan dua manusia terbaik, Muhammad dan Abu Bakar.

Zainab Binti Jahsyi, perajin kulit yang lebih menyukai uang hasil bekerjanya untuk sedeqah. Asma’ binti Abu Bakar, mengurus kebun dan kuda milik suaminya. Nusaibah binti Ka’ab, ahli pedang yang melindungi Rasul mati-matian di perang Uhud. Asma’ binti Jazid, jubir kaum muslimah yang menanyakan langsung “persepsi deskriminasi jihad” kepada Rasul.

Banyak sekali jika harus disebut satu-satu. Mereka, para muslimah teladan itu, menjalani semua perannya dengan baik. Peran sebagai individu, anak, istri dan bagian dari pembangunan peradaban Islam. Sebuah generasi yang akhirnya melahirkan generasi tak kalah cemerlang, yakni anak-anak yang sejak awal telah tertempa menjadi pejuang peradaban hingga akhirnya Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Menjadi muslimah seperti apakah kita? Tengoklah terlebih dahulu inspirator kita. Saya pribadi, mengambil inspirasi dari Khadijah. Saya termotivasi menapak jejaknya. Bermula dari Khadijah, saya mencoba mengambil pembelajaran atas sosok-sosok nyata yang masih bisa ditemui untuk diambil pelajarannya. Kombinasi, karena memang tidak ada lagi wanita seperti Khadijah di masa kini. Pemilihan inspirasi ini tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi kita.

Maka, PR pertama yang paling penting sebelum anda menentukan inpsirator pilihan anda, sudahkah anda memahami diri anda? Jika itu belum, maka mulailah dari langkah tersebut. Selamat memahami diri sendiri, situasi dan kondisi yang sedang dan akan anda temui, lalu mengambil inspirasi, dan memilih orang-orang yang akan membantu anda mewujudkan inspirasi tersebut menjadi langkah yang berarti.

[Catatan Nurul F Huda]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar