Minggu, 16 Mei 2010

SRI : GURU KILLER




Sebelumnya saya minta maaf kepada teman-teman yang berada pada dunia pendidikan. Tulisan ini tidak untuk menyalahkan siapa-siapa tapi lebih merupakan refleksi saya terhadap model pendidikan kita yang saya pun ada didalamnya pada level perguruan tinggi.

Tulisan ini saya buat juga dalam konteks untuk mendapat wawasan yang lebih luas dari teman-teman sekalian dan bukan untuk mendapatkan persetujuan atau legitimasi atas pandangan saya. Bisa jadi fakta yang saya miliki adalah tidak legitimate atau pembacaan saya terhadap fakta tersebut kurang tepat.

Dalam pengamatan saya saat ini anak-anak usia sekolah di Indonesia dihadapkan pada berbagai macam pelajaran. Pelajaran tersebut tidak hanya banyak dari segi variasi tapi juga banyak dari segi konten. Setiap saya mendengar bahan-bahan pelajaran siswa dari tahun ke tahun, saya mendapat kesan adanya trend 'menurunkan' bahan pelajaran dari kelas ke kelas. Pelajaran yang dulunya biasa diajarkan dikelas dua misalnya secara berangsur-angsur diturunkan (baca: diambil alih untuk diajarkan) ke kelas satu. Pelajaran yang dulu di kelas satu SD malah ikut-ikutan diambil alih oleh TK. Maaf ini hanya pembacaan sepintas saya dan mohon koreksi saya kalau salah, dan syukur jika ada yang sudah meriset hal ini.

Dengan asumsi bahwa memang ada trend demikian, maka anak-anak kita berada pada situasi 'cotent enforcement' dan bukan 'enrichment' (ini istilah saya saja, tapi saya yakin ada padanannya dalam teori pedagogic). 'Enforcement' dalam hal ini adalah memaksakan suatu bahan yang sebenar belum tepat diberikan sebelum kompetensi tertentu dimiliki, adapun 'enrichment' adalah pengayaan pemahaman siswa terhadap topik yang dibahas dengan menggunakan multi approach. Dalam hal ini, pendidik, disamping menyampaikan suatu fenomena ilmu pengetahuan (eksak maupun non eksak) lewat teks, tapi juga lewat diskusi atau brainstorming dan observasi (langsung dilakukan sendiri atau dengan menonton video-nya) yang selanjutnya mereka cerna logika dan makna fenomena yang dipelajari.

Saya tidak punya data persis seberapa besar porsi non-text approach yang diberikan pada pendidikan di Indonesia (lagi, diperlukan penelitian oleh teman-teman yang di jalur ilmu pendidikan). Akan tetapi berdasarkan, pamahaman sekilas saya mengamati aktivitas anak-anak usia sekolah, pendekatan non-text sangatlah minim. Banyaknya materi dan sempitnya waktu sekolah (jam 7 s/d jam 12 termasuk istirahat) dan adanya tekanan UAN yang lebih bersifat hafalan, sepertinya sistem pendidikan kita memang sudah dikondisikan untuk tidak memberi ruang gerak pada pengembangan kemampuan berfikir siswa.

Kalau melihat tingkat perkembangan pendidikan berdasarkan taksonomi Bloom (1956), saya bisa memastikan kita masih pada level pertama dari tujuh tingkat pengembangan pengetahuan manusia. Silahkan lihat ringkasan tingkat pengembangan pengetahuan berdasarkan taksonomi Bloom berikut dan fikirkan pada level mana anak-anak kita dibiasakan disekolahnya (dan pada level mana kita sendiri biasa berfikir):

=======
1. Knowledge:
Karakteristik kemampuan: arrange, define, duplicate, label, list, memorize, name, order, recognize, reproduce state.
2.Comprehension:
Karakteristik kemampuan: classify, describe, discuss, explain, express, identify, indicate, locate, recognize, report, restate, review, select, translate,
3.Application:
Karakteristik kemampuan: apply, choose, demonstrate, dramatize, employ, illustrate, interpret, operate, practice, schedule, sketch, solve, use, write.
4.Analysis:
Karakteristik kemampuan: analyze, appraise, calculate, categorize, compare, contrast, criticize, differentiate, discriminate, distinguish, examine, experiment, question, test.
5.Synthesis:
Karakteristik kemampuan: arrange, assemble, collect, compose, construct, create, design, develop, formulate, manage, organize, plan, prepare, propose, set up, write.
6.Evaluation:
Karakteristik kemampuan: appraise, argue, assess, attach, choose compare, defend estimate, judge, predict, rate, core, select, support, value, evaluate.

======

Menurut saya, pengembangan pendidikan semestinya sejalan dengan pengembangan model pembelajaran yang mendorong potensi berfikir siswa hingga pada level yang lebih tinggi dari sekedar level 'tahu' yang sekedar bisa menceritakan kembali rekaman terhadap yang pernah dia baca dan dengar dari sang guru di kelas. Kalau sekiranya kemampuan berfikir siswa kita masih pada level pertama berarti banyak yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan di Indonesia dibanding memfokuskan diri pada UAN yang hanya butuh level berfikir tingkat pertama.

Dalam kehidupan praktis, kemampuan berfikir ini penting sehingga siswa dapat melakukan analisis degan baik terhadap berbagai hal yang dihadapi dalam kehidupannya & terlatih mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi. Hal yang tidak kalah penting dari pengembangan kemampuan berfikir tersebut adalah dapat membedakan antara fakta & opini.

Apa dampak dari kegagalan ini semuai? Setelah dewasa mereka terbiasa menjadi 'plagiat yang handal' karena memang sudah dibiasakan menjawab pertanyaan persis seperti yang tertera dalam buku ataupun catatan (silahkan lihat catatan di FB Rois Fathoni untuk deskripi agak detail tentang hal ini). Ketika membuat makalah pada tingkat perguruan tinggi mereka menjadi gagap dalam mencerna hasil pikiran orang lain dan berinteraksi dengan berbagai teori dan konsep yang ada. Karena sudah dibiasakan menghafal maka mereka tidak merasa salah dengan mengcopy paste pikiran orang lain yang mereka temukan di buku atau internet. Sesuatu yang dia sadari atau tidak, ternyata dia telah dikondisikan melakukan praktik plagiarism, sesuatu yang diharamkan dalam dunia pendidikan. Begitu juga ketika sudah bekerja mereka menjadi orang yang tidak kreatif karena lebih cenderung mengambil hasil pikir orang lain tanpa mau capek-capek berpikir.

Disamping itu, pada level makro, bangsa ini cenderung menjadi bangsa yang mudah dipengaruhi oleh opini publik. Kenapa? karena tidak terbiasa berfikir membedakan mana yang fakta dan mana yang opini, mana yang relevan dan mana yang tidak relevan, mana yang penting dan mana yang tidak penting!

Last but not least, mari kita bangun pendidikan kita semampu kita dengan meningkatkan kesadaran kita untuk mulai memberi bobot yang lebih besar pada pengembangan daya nalar kita. Penyadaran ini bisa kita mulai dari diri kita hingga ke level pengambil kebijakan.

[Catatan dari Rizal Yaya]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar